Andalan

Cerita Unta, Salmon, Gajah, dan Lele

Sudah sepuluh tahun, sejak batch pertama pengiriman manusia ke Mars, dalam Project SpaceX. Batch pertama dianggap sukses. Manusia berhasil bertahan hidup di Mars, dengan membuat dome raksasa untuk menanam vegetasi pangan, yang sekaligus menghasilkan oksigen. Selain itu, dengan metode penyulingan udara, dapat dihasilkan air murni untuk diminum. Kemudian pada batch kedua, dibawalah ratusan ribu bibit ternak: domba, ayam, babi, dan ikan.

Sepuluh tahun kemudian, tepat tahun 2060, tiga perempat penduduk bumi sudah migrasi ke Planet Mars. Seperempat sisanya bukanlah manusia kasta bawah yang ditinggalkan. Pemilik SpaceX, Elon Musk juga ada di kelompok ini. Mereka adalah manusia terpilih, yang memiliki tugas khusus: memastikan bumi yang sudah rusak parah ini, bisa melakukan rehabilitasi alam secara mandiri, bilamana ditinggalkan umat manusia. Targetnya, pada 2064, dalam empat batch lagi, semua umat manusia sudah meninggalkan bumi dan bermukim di Mars.

Beberapa puluh tahun kemudian, dari Pulau Socrota, muncullah Dajjal, seperti yang telah diramalkan salah satu agama. Dengan kekuatan yang dimilikinya, ia berteleportasi ke Jazirah Arab. Dajjal muncul di tengah gurun pasir. Aneh, tiada kehidupan. Padahal seharusnya di sini lah ia akan menemukan umat pertama yang akan jadi pengikutnya.

Setelah beberapa kali teleportasi, akhirnya Dajjal hanya menemukan sekawanan unta liar, yang sedang berteduh di bawah pohon kurma, di tepian oasis. Dengan kekuatannya, Dajjal bertanya ke unta alpha. Unta itu menjawab, ‘sejak aku lahir, aku tak pernah melihat makhluk seperti yang kamu ceritakan’.

Tak paham dengan takdirnya, Dajjal kemudian berteleportasi ke India, wilayah umat keduanya. Ia muncul di tepian Sungai Gangga, yang merupakan sumber kehidupan dan pusat kebudayaan. Di sini lah ia akan mendapatkan banyak pengikut. Tapi tak seperti ramalan yang dimukzizatkan kepadanya, bahwa ia akan dianggap sebagai Nabi, lantaran bisa menjernihkan Sungai Gangga. Yang ia temukan, Sungai Gangga sudah sejernih kristal. Berbagai jenis ikan hidup di dalamnya. Ia hanya menemukan reruntuhan bangunan di tepian sungai. Itupun sudah ditumbuhi pepohonan lebat, hampir menyerupai hutan amazon. Jawaban dari ikan salmon Sungai Gangga juga sama, mereka tak pernah melihat makhluk seperti yang dideskripsikan Sang Dajjal.

Dajjal kemudian menuju ke satu pulau, terpadat di dunia, yang terletak di negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di dunia. Dajjal muncul di Pulau Jawa. Ia mengelilingi Pulau Jawa beberapa kali, di timur, di tengah, di barat, kembali ke timur. Hingga akhirnya, Dajjal mengambil kesimpulan bahwa: sudah tidak ada lagi umat manusia di muka bumi.

Sendirian tanpa pengikut, beda jauh dengan takdirnya, Dajjal mulai kebosanan. Kemudian ia mulai mengeluarkan ilmu-ilmu magisnya. Hanya saja, karena tidak ada umat manusia yang menyaksikan, tidak ada yang bisa ia buat terpukau. Tidak ada yang memujanya. Tidak ada yang menjadi pengikutnya. Akhirnya, ia bosan lagi.

Hingga akhirnya, supaya tidak kebosanan dan merasa kesepian di muka bumi, Dajjal menggunakan salah satu mukzizat terbesarnya. Ia membangkitkan manusia yang sudah mati. Dajjal menghidupkan Patih Gajah Mada. Karena menurut mukzizatnya, dimana ia diberikan ilmu pengetahuan lintas dimensi waktu, Gajah Mada dikenal sebagai manusia terkuat di kerajaan terbesar di Tanah Jawa, Majapahit.

Demi mengusir bosan, dan demi melaksanakan misinya, Dajjal mengajak Gajah Mada adu panco. Jika ia mengalahkan Gajah Mada, maka ia akan dipandang sebagai manusia terkuat di Jawa.

Awalnya, Dajjal meremehkan Gajah Mada. Ia akan menang mudah, tanpa harus menggunakan jurus gaibnya. Namun, ternyata ia hampir dibuat kalah. Sehingga akhirnya, Dajjal menggunakan kekuatan magisnya untuk mengalahkan Gajah Mada. Karena memang tujuannya di muka bumi, ingin menunjukkan mukzizatnya, demi mencari umat pengikut. Tapi setelah beberapa kali tanding panco ulang, Gajah Mada pundung karena selalu dikalahkan oleh Dajjal dengan curang.

Bosan adu panco, Dajjal mengajak Gajah Mada berkeliling Pulau Jawa untuk menemukan hiburan yang lain. Hingga akhirnya mereka menemukan kuburan Hokage ke 5 Indonesia. Setelah adu power dan debat argumentasi, tak dinyana Dajjal kalah dari Hokage ke 5. Dan sebagai hukumannya, Dajjal dijadikan petugas partai.

Akhirnya karena tak mau terlihat lemah, lantaran berbahaya untuk misinya, Dajjal mematikan kembali Hokage ke-5. Gajah Mada pun mengejek Dajjal Cupu! Kemudian dengan ilmunya yang lain, Dajjal menghapus memori Gajah Mada atas kejadian barusan. Supaya tidak ada yang jadi saksi atas kelemahannya.

Selanjutnya, Dajjal membawa Gajah Mada yang masih linglung, teleport ke tanah Sunda. Mereka menemukan kuburan Haji Gibran H. Setelah menggunakan ilmu untuk melihat sejarah hidup Haji Gibran, Dajjal tertarik untuk membangkitkan manusia yang dikenal sebagai CEO salah satu unicorn dari Indonesia ini. Agar kontekstual, Haji Gibran ditantang lomba melatih ikan lele melakukan trik berhitung.

Lomba pun dimulai, dengan Patih Gajah Mada sebagai jurinya. Gajah Mada yang masih sakit hati kepada Dajjal, memihak ke Haji Gibran. Namun sesungguhnya tiada harapan, lantaran ia sudah tahu bahwa si Dajjal punya kemampuan berbicara dengan hewan.

Namun, dasar ikan lele tak punya otak, lebih tepatnya dasar ikan lele tak punya akal. Sudah dijelaskan pakai berbagai jenis bahasa hewan, sudah dijelaskan dengan berbagai ilmu algoritma, tetap saja lele tak bisa berhitung. Bahkan cuman menjumlahkan satu tambah satu saja, ngah ngoh. Alhasil si lele diganjar dengan jurus petir oleh si Dajjal.

Sementara Haji Gibran, dengan mengiming-imingi pakan pelet berprotein tinggi, berhasil membuat ikan lele menurut padanya. Jika diberikan satu butir pelet, ditambah satu butir pelet, si lele akan melompat ke permukaan air dua kali. Sehingga akhirnya, dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Patih Gajah Mada mengangkat tangan Haji Gibran, dan menyatakannya sebagai pemenang, mengalahkan Dajjal.

Keduanya secara serempak berteriak, “Dajjal Cupu!”

Alhasil keduanya dimatikan kembali oleh Dajjal.

The End.

Andalan

Jawabannya Bukan Hujan?

Weekendku jika tanpa ngebolang, hanyalah jeda rehat singkat antar weekday. Semenjak istriku bekerja di rumah sakit, dengan jadwal shift, liburnya jadi tak teratur. Kami jadi susah kemana-mana saat weekend. Opsinya, aku traveling ke luar kota sendiri, biar bisa healing.

Namun weekend ini, aku berhasil menemukan kedamaian, berhasil healing. Biasanya untuk bisa healing, alias mengenolkan energi negative, melenyapkan stress dan beban di pundak, aku harus naik gunung atau menghilang ke hutan. Tapi kali ini bisa kulakukan tanpa meninggalkan Kota Bandung.

Photo by Juli Lianna on Pexels.com

Minggu dini hari, Antapani diguyur hujan tiada henti. Lewat pukul enam pagi, langit masih kelabu. Jalanan masih basah, sinar mentari belum tampak dan menerpa.

Seperti biasa, warga paruh baya di kampungku bermain tenis meja di halaman Masjid Al Hikmah. Sementara, di jalanan Terusan Jakarta, belasan orang lalu lalang. Ada yang jajan sehat. Ada yang lari pagi. Ada yang sepedaan.

Sungguh nikmat sekali berkendara ke arah kota saat weekend seperti ini. Jalanan begitu lengang. Kami tak harus beradu klakson dan berkelit kelok dalam kemacetan.

Dengan syahdunya kami bisa bermotor ria. Meliuk-liuk melewati lubang jalan dan mendahului pengendara lain yang berlambat-lambat. Biasanya, pas melewati Jembatan Layang Jalan Jakarta, yang melintasi Jl. Ibrahim Aji, aku akan menengok ke arah kiri. Di Selatan jauh sana, deretan pegunungan Malabar, Tilu, Patuhan berjajar merambat hingga ke Padalarang di Barat sana. Atap belakang TSM mencolok terlihat dengan warna kuningnya. Sementara di Kiara Artha Park, ratusan orang sedang berkumpul dan berolah raga.

Melintasi Jalan Jakarta dalam kondisi longgar–padahal biasanya naudzubillah macetnya–sungguh melegakan jiwa. Lantas menaiki jembatan layang di atas Jalan Ahmad Yani, kami disuguhi pemandangan Gunung Burangrang. Menjalar ke timur deretan Tangkubanparahu, Bukit Tunggul, Palasari, Manglayang, dan berakhir di pegunungan Masigit Kareumbi. Sayang karena masih berawan, pagi ini segala pemandangan gunung-gunung itu tak kelihatan.

Melewati jalanan Supratman, yang masih sangat basah, bak baru saja diguyur hujan, hawa dingin menusuk menembus jaketku. Lenganku merasakan dingin yang syahdu. Oh astagah! Ternyata ini yang selalu aku cari, di gunung, di hutan, atau di jalanan. Tatkala aku terkena gerimis di jalur pendakian gunung, atau ketika aku kehujanan (sengaja menikmati hujan) di atas motor. Ini sensasi yang selalu aku cari, dan kurindukan. Kadang malah menjadi candu. Merasakan hawa dingin yang menusuk hingga tulang humerus, sembari berpindah alias bergerak aka melakukan perjalanan, bisa menyerap habis hawa panas dan energi negatif dalam tubuhku. Ter-“healing”.

Memutari Taman Persib, andai hari Sabtu, maka aku akan belok di Jalan Cilaki. Menyusuri tepian Pet Park dan Taman Lansia, yang masih sepi dari pedagang. Melintasi depan Gedung Sate dan Gasibu yang mulai dipenuhi pengunjung dan pelari pagi.

Jika hari minggu, seperti hari ini, aku akan sedikit memutar. Demi menghindari pasar kaget di Taman Lansia, kami berbelok kiri ke jalan Cendana, lalu Bengawan, Taman Cibeunying Selatan, Ciliwung. Memutari Masjid Istiqomah. Lewat belakang Gedung Sate. Nah, di sini lah, di Jalan Hayam Wuruk, salah satu spot paling asyik untuk dilewati sesaat setelah hujan. Satu kata: syahdu.

Lalu kami akan melewati atrean Sate Jando, yang mana ibu-ibu penjualnya saja belum datang, baru tim logistiknya menurunkan bahan dan peralatan. Belok kiri di Jalan Diponegoro, hingga akhirnya kami pasti kena lampu merah di perempatan Dukomsel (lama). Gak tau kenapa di sini pasti merah. Sudah beberapa minggu ini pengamennya sama.

Kami menaiki Jembatan Surapati dari Baltos yang sekali lagi, lengang. Somehow rejeki anak soleh, turun di Cihampelas, kami dapat lampu hijau. Begitu juga dengan stopan Cipaganti seringkali hijau. Hingga kami tiba di pintu selatan RSHS hanya dalam waktu 12 menitan.

Usai menurunkan istriku dan sedikit salam berpamitan, aku dan Juna, yang duduk di depan, bergegas kembali ke arah timur. Rejeki anak durhaka, pasti kami kena lampu merah dua kali di sini, perempatan Cipaganti dan Cihampelas. Padahal kami sedang buru-buru, mengejar sesuatu. Tapi musti disabar-sabarin.

Akhirnya setelah stopan kedua berwarna hijau, kami berbelok ke kanan menurunin Jalan Cihampelas. Memasuki Wastu Kencana yang melingkar. Ambil kiri ke RE Martadinata. Lalu belok kanan di Jalan Merdeka. Mengambil lajur kanan, Gramedia, yang lebih kosong mlompong, dibanding lajur kiri BIP. Melintasi perempatan Jalan Aceh tanpa pernah kena lampu merah. Dari sini, disebelah Balai Kota, aku tancap gas maksimal. Di depan sana, sedikit lagi kita akan sampai.

Jika tidak terlambat, maka di detik-detik ini, palang kereta di Jalan Merdeka sedang turun. Aku sesegera mungkin menempelkan kendaraanku ke palang kereta, menyusup selap-selip ke paling depan. Kereta Malabar akan melintas. Inilah yang kami kejar. Juna suka melihat kereta.

Jika kami telat sedikit saja, kami ketinggalan Malabar. Jika Malabar telat atau kami kepagian, belok kiri di sebelah rel, Jalan Tera. Di pintu kereta Jalan Sumatera, kami akan menunggu si kereta, yang katanya namanya singkatan dari MALAng-BAndung Raya ini lewat. Inilah bentuk bonding sederhana antara ayah dan anak.

Usai Malabar lewat, kami akan bergegas menyusuri Jalan Natuna. Belok kiri, menyeberangi rel di Jalan Sunda. Aku akan memarkirkan motorku di bawah pohon beringin di depan SPBU Jalan Sunda. Tak lama, bunyi lonceng rel akan terdengar, yang berfungsi untuk mengingatkan petugas jaga, semenit lagi harus menutup palang kereta. Semenit kemudian, suara sirine perlintasan berbunyi. Setelah menunggu sekitar 2 menit. Kereta Lodaya akan bergerak perlahan dari arah barat, Stasiun Hall.

Usai Lodaya melintas, palang kereta tak akan dinaikkan. Lantaran sesaat lagi, Kereta Lokal Bandung Raya akan mengambangi dari arah timur, Stasiun Cikudapateh. Aku akan menyeberang jalan ke sebelah barat. Berdiri di posisi yang sama setiap minggunya, sambil menggendong Juna supaya view-nya lebih jelas. Sementara di seberang sana, di halaman Indomaret Point, ibu-ibu sedang seru-serunya senam pagi dengan dentuman musik koplo.

Usai kereta lewat, kami segera menjemput motor yang terparkir di bawah pohon beringin besar. Tak lupa aku mengucapkan permisi.

Jika bensin sudah tipis, maka kami akan mengisi sekalian di situ. Jika tidak, aku akan numpang lewat menembus ke Gudang Selatan, tapi belok kiri ke arah Gudang Utara. Lurus ke timur hingga belok kiri di Jalan Gandapura. Tak lama, belok kanan di Jalan Soka. Lalu belok kiri di jalan Anggrek. Dan akhirnya, kami akan parkir di café kanan jalan, yang sudah buka dari jam tujuh pagi. Jika sering ngopi bareng aku, pasti tahu ini café apa. Soalnya ini café favoritku se Bandung.

Aku dan Juna segera masuk, bergegas menuju kasir. Semacam sudah hafal, baristanya akan menyapa kami. Di weekend pagi, menu favoritku adalah Megummy. Lalu aku akan bertanya pada Juna, mau langsung pulang atau mau duduk-duduk dulu. Biasanya jawabannya duduk dulu. Lalu kubiarkan Juna yang memilih kali ini mau duduk di mana. Tiap spotnya memiliki ke zen-an tersendiri. Di dalam ruang kasir, kami akan mendapatkan obrolan hangat serta informasi kopi dari mas atau mbak barista. Di ruang roasting, kami akan dimanjakan oleh wangi kopi nan semerbak. Di spot outdoor, tata letak dan ornamen akan menyajikan ke-zen-an pagi hari.

Sembari menyeruput kopi, aku akan membaca buku, yang kuambil dari rak di dekat bar. Aku sedang membaca Jalan Dandeles-nya Pramoedya Ananta Toer. Anakku kupinjami hape untuk melihat yutup kereta.

Biasanya kuhabiskan sebab atau dua bab buku Mas Pram. Baru kemudian aku akan memaksa anakku untuk pulang. Kenapa harus dipaksa? Karena seringkali dia belum mau pulang. Cuman kasihan, dia belum mandi dan belum sarapan.

Menyusuri jalan Anggrek, membuatku mengagumi kemegahan hunian di area ini. Membawaku berangan-angan ingin punya rumah di sini. Cuman angan-angan, soalnya pasti harganya ga nyantai. Bangunannya megah-megah, beberapa berkonsep kolonial. Pepohonan di pinggir jalan menjulang tinggi, sungguh menyejukkan. Jalanannya sepi, tak pernah ramai. Sungguh idaman sekali.

Menyeberang lampu merah Riau, aku menuju ke arah Taman Superhero. Jalan Anggrek di sebelah sini, kini kuhindari. Tak lagi menyenangkan. Gara-gara kemacetan dari Cochomory, untung kalo pagi belum. Lalu aku akan belok kanan di jalan Bengawan, hingga menembus A Yani.

Menyusuri Jalan Ahmad Yani hingga Pasar Cicadas, tak ada yang menarik. Matahari mulai tinggi. Mulai macet. Paling hanya Megummy, yang kugenggam di tangan kiriku, yang bisa menghibur di antara keramaian jalan. Jalan Kiara Condong dan Terusan Jakarta juga tak pernah Asyik. Hingga akhirnya kami berbelok di Jalan Jakarta 2, dan akhirnya masuk ke halaman rumah.

Juna akan disambut oleh mertuaku. Dengan semangatnya, Juna akan bercerita, dia tadi melihat berapa kereta. Juga soal mampir ke rumah kukis, di café tadi Juna kebagian chocolate cookie. Sementara aku, setelah melepas jaket dan cuci tangan, akan rebahan sejenak di kasur. Menikmati ke-zen-an weekend, yang ternyata sudah kudapatkan dari pagi hari.

“Antara Aku-Hujan-Dingin-Pergi-Kopi-dan-Buku.”

Andalan

Bali day 1 – Melarikan Diri

Menginjakkan kaki di tanah Bali, berfoto di depan patung tulisan BALI berwarna merah di Bandara Ngurai Rai, mengobrol dengan pedagang kopi dan gorengan serta ojol warlok, juga menaiki motor melintasi Jalan Raya Airport Ngurah Rai yang ornamen sekitarnya Bali abis, ternyata belum cukup membuatku memasuki mode meditasi yang menyembuhkan alias healing. Tubuhku sudah berada di Pulau Bali, namun isi kepalaku masih ketinggalan di Bukit Pakar, Bandung. Sementara pundakku masih tertinggal di rumah Antapani, menanggung beban kepala rumah tangga.

Ingat, aku ke Bali itu mau liburan. Aku mau mengeksplore sudut-sudut Bali yang belum pernah kujamahi. Mau summit ke puncak tertinggi Pulau Dewata. Tapi kenapa aku belum merasakan suasana liburan itu? Aku belum merasakan ke-zen-an dan ke-healing-an.

Apakah karena hari ini aku belum cuti. Cutiku baru esok hari? Sehingga masih mode stand by dipanggil.

Apakah karena aku baru menyentuh area Kuta dan Denpasar, yang notabene adalah pusat kemodernan Bali. Sehingga kesakralan Bali belum merasuk ke sukmaku.

Ah mungkin memang gara-gara itu. Rasa-rasanya, dari tadi aku belum melihat rombongan warga Hindu Bali yang sedang melakukan ibadah. Aku juga belum mencium bau dupa, yang biasanya merebak ke segala penjuru. Bangunan dan permukiman di kanan kiri jalan pun, paling 1 diantara 3 yang berornamen Bali.

Hingga akhirnya aku melintasi Bypass Ngurah Rai. Berkendara ke timur, menuju area Sanur. Akhirnya tempo nafasku bisa melambatkan. Frekuensi gelombang otakku mulai menurun. Otot-otot di pundakku melentur.

Bypass Ngurah Rai & Purnama

ByPass ini mengingatkanku pada Ring Road Jogja. Ada ketenangan yang merasuk. Ada kedamaian yang menyapa. Anjing-anjing Kintamani mulai banyak berkeliaran. Ah, ciri khas Bali mulai menampakkan diri.

Semakin malam, Bali yang usai diguyur hujan semakin syahdu. Bulan purnama menyembul dari balik awan yang masih tersisa. Malam pertamaku di Bali semakin sempurna.

Ya, semoga esok hari, ketika aku sudah official cuti. Dimana rasa bersalah tak menghantui bilamana mengabaikan notifikasi slack. Dan akhirnya aku mulai meninggalkan area Bali Selatan, menuju ke tengah bahkan utara. Ketika siang harinya, mulai banyak terlihat warga lokal berbaju adat, pergi beribadah ke Pura. Semasa bau dupa mulai tercium harum. Kala ornamen bangunan sudah kebalian semua. Saat sesaji canang sari makin banyak bertebaran di tepi jalan dan sanggah. Tatkala jalan mulai menyempit dan berkelok menanjak diapit hutan dan sawah. Aku berharap, bisa mendapatkan kedamaian. Bisa menemukan zen. Mengikis damage yang membebani raga. Membuyarkan pening, nanar, mumet yang mencengkeram kepala. Meluruhkan sementara tanggung jawab yang terbebat dan tertambat di pundak.

Semoga untuk satu weekeeend ini saja, aku bisa jadi single kembali. Lupa kalau punya anak. Lupa jika  punya istri. Mengabaikan semua. Fokus mengejar ego dan hasratku. Menikmati hidup, dengan cara menikmati keunikan Bali yang sangat elok. Agar aku bisa fresh lagi. Mulai dari 0. Seperti Idul Fitri. Seperti mbak-mbak penjaga SPBU Pertamina. Supaya aku bisa kembali ke dunia nyata yang penuh huru-hara, dalam kondisi yang jauh lebih segar dan siap.

Aku ingin melarikan diri. Izinkan aku kabur. Biarkan aku menyembuhkan diri dulu.

Menyadur dari Nosstress, musisi indie asal Bali, dalam lagunya Semoga Ya.

Semoga ya malam ini
Lebih cantik dari malam kemarin
Bersama bulan kan kutemukan
Healing yang kuidamkan

Andalan

Ayah

Photo by Alex Green on Pexels.com

Anjani mematikan telepon dengan mimik geram. Ayahnya minta tolong dibelikan makan malam untuk sang Ayah dan adik-adiknya. Ketika sakit sang Ayah sedang kambuh, memang ayahnya jadi banyak merepotkannya.

Anjani kesal karena sebenarnya ia sudah punya janji meet up di café dengan teman-teman kuliahnya dulu. Semenjak bekerja, dia jarang-jarang bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya itu. Eh pas giliran bisa meet up, malah disuruh langsung pulang, beliin makan, nyebelin.

Matahari belum tergelincir dan masih terasa panas. Asap polusi menebal dan mengganggu pernafasan, berasal dari ratusan kendaraan yang menyemut di jam pulang kerja. Suara klakson bersautan di depan sana, sepertinya terjadi deadlock di pertigaan. Kombinasi tak menyenangkan ini memperkeruh suasana hati Anjani.

Anjani kini terpaksa memindahkan tujuan ojolnya dari café ke rumah. Untung tadi dia belum sempat menekan tombol order. Kalau sudah, pastilah dia makin jengkel. Membuat order baru, setelah meng-cancel order sebelumnya, membuat tarif perjalanan jadi lebih mahal dari yang seharusnya.

Tapi, semuntab-muntabnya perasaan Anjani, ia terpaksa menuruti ayahnya. Ia tak punya pilihan. Meski mungkin bad mood-nya akan berlangsung sepanjang malam, atau bahkan tiga hari, bisa jadi malah seminggu. Lantaran, kebayang ga sih, ia sudah kangen banget sama teman-temannya itu.

Ada setitik bahagia di hati Anjani, ketika mengecek siapa driver ojol yang mengambil pesanannya. Anjani beberapa kali diantar pulang oleh driver ini. Si driver enak kalau diajak ngobrol. Anjani bisa curhat ke si driver, untuk paling tidak membagi keluh kesahnya, mengurangi kekesalannya.

Motor Vario berhenti tepat di depan Anjani. Tak perlu saling tanya, mereka tak akan salah orang. Si driver menyunggingkan senyum yang tanggung. Tak seperti biasanya, yang selalu menyapa dengan ramah plus senyum lebar.

Motor Vario segera dijalankan, usai Anjani membenarkan posisi duduknya. Mereka membaur dengan kemacetan. Tak seperti biasanya, si Driver tak segera membuka percakapan. Anjani makin kesal, kenapa si driver malah ikutan membuatnya kesal. Akhirnya Anjani terpaksa memulai percakapan. Lantaran ia beneran lagi butuh cerita.

“Habis nganter kemana, Pak?”

“PVJ, Neng.”

“Kenapa, Pak? Penumpangnya resek?”

Anjani tak mendengar jelas si driver ngomong apa. Dia cuma ngeh drivernya menggelengkan kepala. Menyebalkan.

Setelah sekian lama tak ada percakapan, Anjani terpaksa membuka obrolan lagi. Soalnya dia masih mau curhat. Anjani cuma pengen cerita, Ya Allah.

“Bapak kenapa kok ga semangat kaya biasanya?”

Setelah beberapa saat mengatur nafas dan kata-kata, akhirnya si driver menjawab. “Maaf ya, Neng…. Iya, saya lagi berantakan, Neng. Ayah saya meninggal 3 hari yang lalu.”

Anjani kaget dengan apa yang dikatakan Mas Dodik, drivernya ini. Kondisinya yang sedang minta dikasihani, membutuhkan waktu untuk bisa berempati kepada drivernya, yang ternyata sedang berduka. Lebih buruk dari kondisinya.

“Innalillahi wa inailaihi roji’un. Saya turut berduka cita ya, Pak.”

“Iya, Neng. Terima kasih. Saya tu lagi mikirin gimana nyari biaya buat tahlilan tujuh harian nanti, Neng. Makanya saya jadi sering ngelamun, mikirin mau cari duit ke mana.”

Obrolan berlanjut, sampai Anjani minta melipir ke rumah makan Padang, yang cukup enak di jalur yang mereka lalui. Dia membungkus makan untuk dirinya, adik-adiknya, dan sang Ayah. Sambil menunggu si uda membungkus makanannya, Anjani menengok ke arah jalan. Ia melihat Mas Dodik melamun lagi, kasian. Lalu ia kepikiran untuk membelikan sebungkus nasi rendang untuk drivernya itu. Ya, semoga bisa sedikit menceriakan hati Mas Dodik yang sedang berduka.

Mas Dodik kaget ketika Anjani tiba-tiba sudah ada di hadapannya dan menyodorkan sebungkus plastik ke arahnya. Mas Dodik tersenyum simpul. Setelah ada jeda sekian detik, dia baru mengucapkan terima kasih. Senyumnya pun diperlebar, hingga giginya terlihat. Meski matanya tetap sayu, tak bisa berbohong.

Andalan

Napak Tilas

Photo by Micah Boerma on Pexels.com

Kita kembali bertemu di tempat yang sama seperti tujuh tahun yang lalu kita pertama kali bertatap muka. Di titik yang sama, di depan pintu keluar stasiun di kotamu. Bedanya, dulu aku yang turun dari kereta dan kamu menjemputku dengan motor bebekmu. Kini, aku yang menantikan kehadiranmu, menunggu di atas motorku. Bedanya lagi, dulu hanya bercerita tentang kita berdua. Kali ini, ada temanmu, yang juga adalah temanku, yang akhirnya mencomblangkan kita.

Seperti kala itu, kita langsung meninggalkan Stasiun Kota Jember, menyusuri jalanan panjang menuju pesisir selatan. Bedanya, saat itu kamu duduk di boncenganku. Tapi sekarang, kamu lebih memilih dibonceng temanmu itu.

Jalanan berliku naik turun dipayungi hujan gerimis. Rintiknya kubiarkan membasahi jaket tipisku, tanpa pembatas jas hujan, untuk menambah kesyahduan semesta. Aku menikmati perjalanan ini. Bedanya, dulu aku menikmatinya sembari berbincang denganmu. Tanganmu menggenggam erat jaketku, masih malu untuk memelukku. Sementara kini, aku terpaksa menikmatinya dengan memutar musik kencang-kencang di headsetku. Ngebut dan cornering di tikungan berliku. Sembari sesekali lepas stang tatkala ada turunan panjang. Aku ingin membebaskan diri, kabur dari perasaan yang membelenggu ini.

Aku menyanyikan dengan lantang lagu Hujan Dihatiku dari NTRL. Tak kupedulikan pengendara lain dan pejalan kaki yang mendengar suara menyayatku. Aku hanya ingin menyembunyikan air mataku yang berlinang di balik hujan. Aku cemburu, kenapa kamu memilih dibonceng dia, bukan aku. Menjadi milik Dia. Bukan milikku lagi.

Kita tiba di pantai yang sama seperti tujuh tahun lalu. Hanya saja di waktu yang sedikit berbeda. Kala itu siang berderang. Saat ini senja yang sendu digelayuti mendung gelap berarak. Angin menerpa kencang, memprakarsai ombak besar yang menerjang pantai kecoklatan di teluk bawah sana.

Dulu kita jalan berdua menyusuri pasir kecoklatan itu. Dari ujung tebing barat, hingga ujung tebing timur. Aku curi-curi kesempatan supaya bisa memegang tanganmu. Kali ini, kita malah terdampar di rumah panggung di atas tebing batu karang.

Saat matahari hendak pulang ke peraduannya, cahaya jingga dan merah muda menembus celah-celah awan tebal. Pilar-pilar cahaya yang berhasil membebaskan diri bergerak pelan menyapu langit. Sayangnya pemandangan indah ini tiada berarti. Aku sedih.

Aku duduk terlebih dahulu di kursi paling kanan balkon. Menyisakan kursi di tengah dan sebelah kiri. Aku berharap kamu duduk di tengah, memberikan pernyataan implisit.

Tapi…, kamu memilih duduk di kursi sebelah kiri. Lalu kamu malah merariknya sampai ujung balkon. Bajingan.

Di antara kita, ada “teman”-mu. Bangsat!

Tahukah kamu, Ziara? Pintaku tak banyak. Sumpah mati aku hanya ingin ngobrol sama kamu. Lima tahun tak bertemu, buanyak yang ingin kuceritakan. Banyak yang ingin kutanyakan. Banyak yang belum tuntas di antara kita. Tapi kamu malah memilih diam di pojok sana. Lebih dingin dari pada saat kamu sakit kala itu.

Sementara kawan kau ini, tiada berhentinya dia bicara. Tak sadarkan dia, aku muak mendengar ocehannya. Sok-sokan menasehati. Move an move on, Tai Anajing. Dari pada mendengar celotehannya, lebih baik aku melamun saja. Menajamkan fokus, melihat ke pantai muara sungai di bawah sana, yang airnya jadi biru kehijauan. Para nelayan sedang menyiapkan kapalnya untuk melaut malam nanti.

Andalan

Aku, Kau, dan Suatu Akhir Pekan

HP-ku, yang tergeletak di sebelah laptop, bergetar. Layarnya yang bercahaya, menerangi ruang kamarku yang hanya diterangi lampu baca. Sebuah pesan WA masuk, dari nomor yang belum kusimpan. Biasanya jika ada pesan dari orang yang belum kukenal, pasti kuabaikan, emm…, lebih tepatnya kuhindari. Apalagi jika sedang asyik membaca buku seperti ini.

Hanya saja, kali ini berbeda. Beberapa menit yang lalu, sahabatku, lebih tepatnya, satu-satunya sahabatku, menelepon bilang ada kenalannya yang minta dikenalin. Hmm, lebih tepatnya saudara jauhnya, kata si Sule. Yak, karena rekomendasi temanku ini lah, emm…, lebih tepat permintaannya, emm…, lebih tepat lagi paksaan temanku, akhirnya kucek pesan dari orang asing ini segera.

Namaku sendiri Riani. Aku bekerja di perusahaan finansial swasta. Jabatanku kepala cabang. Tapi, jangan dibayangkan perusahaanku besar dan bergengsi. Sudah perusahaan kecil, kantor cabang di kota kecil pula. Penghasilanku sebagai kepala cabang juga cuma bisa dibilang cukup. Paling tidak dua kali UMR lah. Tapi yang paling penting, tiga kali lipat gaji sobatku, si Sule, yang madesu itu.

Aku single. Ingin dan sering kali menggunakan alasan mau fokus ke karir dulu, buat menghindar ketika ditanyai soal kesendirianku. Meskipun sebenarnya, ya…, aku terlalu malas saja berbasa-basi, berumit-rumit pacaran menye-menye. No drama-drama club lah aku ini. Mending kuhabiskan waktu luangku untuk baca novel, nonton anime, atau bermain dengan kucing-kucingku.

“Jumat 17.19:
Assalamulaykum Wr Wb, Riani.
Kenalin aku Nugi, saudaranya Lastri.
Katanya kamu (bla bla bla bla..)”

Aku tak terlalu peduli kata-kata selanjutnya. Tapi dipikir-pikir manis juga kata-katanya. Bukan manis yang gombal-gombal jijay. Tapi, lebih ke kasual sopan dengan diksi yang kok berima ya.

Oh iya, nama temanku sebenarnya Sulastri, namun kupanggil Sule. Ya…, sebagai pembalasan karena memanggilku Riantul.

Astagah, padahal baru beberapa jam chatan, tapi rasanya seperti sudah lama kenal dengan Mas Nugi. Somehow dia bisa sangat mengerti diriku. Dia tadi sempat menanyakan golongan darahku sih, sama menanyakan zodiakku. Agak ill feel awalnya, soalnya aku tidak percaya dengan ramalan tahayul semacam itu. Tapi kok cuman gara-gara tau informasi itu, dia jadi bisa sangat memahami karakterku ya. Hampir semua apa yang dia bilang tentangku, kok benar. Ah tidak, aku kok mulai tertarik.

Eh tunggu, jangan-jangan si Sule sudah membocorkan semua informasi tentangku ke dia. Tapi setelah kukonfirmasi katanya tidak, dan sepertinya memang tidak. Soalnya Sule menunjukkan ss-an chat mereka sebelumnya, natural.

Empat jam sudah kami chatan secara intensif. Dari jam 5 sore, beberapa saat setelah Sule memposting story foto bersamaku, hingga kini jam 9 malam. Empat jam yang…, tak mau kuakui, tapi… kok lucu, manis, aduh jangan dulu deh, jangan sampai baper.

Sebenarnya Mas Nugi masih ngechat. Tapi aku harus jual mahal. Ga boleh jadi gampangan.

Tapi astagah, aku tu biasanya jauh lebih dingin dari ini. Di chat pagi, baru balas sore, Kalau perlu malam atau bahkan besok. Tapi kali ini kenapa ya…. Emm…, sebenarnya aku tak ingin berhenti. Tapi, aku ga boleh terlalu excited. Aku harus cuek dulu.

Arggghhh, aku kesal sama diriku sendiri. Kenapa tiba-tiba jadi kesirep begini. Cukup lah untuk hari ini. Mari kita melanjutkan nonton anime, yang ketunda dari tadi. Sial!

[Part 2]

Andalan

Arti 9 Tahun untuk eFishery

Tahun ini, tepatnya 8 Oktober 2022, eFishery akan berusia 9 tahun. Kalo diibaratkan manusia, eFishery adalah anak SD, kelas 4. (eFi)Shery yang dirawat, dididik, dan dibesarkan oleh orang tua terbaik, Gibran dan Chrisna, tumbuh menjadi gadis kecil yang menarik. Ia selalu ranking di kelas, pencapaian metrics-nya tumbuh exponensial. Penampilannya pun menarik, dibalut pakaian menawan, dan kantor yang hype abis di perbukitan Dago. Tentu saja, teman-teman sekelas, yang cowok, bahkan sampai kakak kelas, banyak yang suka Shery. Para investor tertarik pada eFishery. Shery mulai mengenal cinta.

Kalau diibaratkan Gajah? Pada usia 9 tahun, gajah jantan belum dewasa. Masih bermain-main dengan cara berkelahi. Sementara gajah betina, tepat diumur 9 tahun akan mencapai kematangan seksual. Berlatih menjadi Matriark, gajah pemimpin di kawanan betina.

Kalau diibaratkan Orang Utan? Pada usia 9 tahun, orang utan sudah hidup mandiri. Orang utan betina akan melahirkan anak pertamanya di usia ini. Lalu akan mengunggu 7-8 tahun kemudian untuk memiliki anak kedua.

Kalau diibaratkan Kura-Kura? Pada usia 9 tahun, kura-kura masih berada di fase Juvenile. Kura-kura remaja sedang mendewasakan diri, mencari pengalaman dengan beredar di perairan biru yang dangkal.

Terakhir, kalau diibaratkan ikan paus? Paus Biru alias Blue Whale adalah hewan terbesar di dunia, yang saat ini masih hidup. Panjangnya bisa lebih dari 30 meter. Pada usia 9 tahun, Blue Whale sudah matang dan siap melahirkan anak pertamanya. Mamalia laut ini akan migrasi ke daerah tropis untuk kawin dan melahirkan. Lautan tropis sangat hangat, sehingga bayinya tidak akan mati membeku seperti di kutub. Kemudian saat musim panas datang, mereka akan menjelajah samudra dan benua, kembali ke kutub Antartika maupun Artik.

Finally, selamat ulang yang ke-9, eFishery! Jadilah startup yang sehat dan terus bertumbuh, mencari pengalaman tanpa batas seperti Juvenile, si kura-kura remaja. Menjadi sosok yang matang dan menjadi lokomotif penggerak dan penentu dunia perikanan di Indonesia, seperti Matriark, si gajah betina. Menyebarkan cinta ke lebih banyak petani Indonesia, dari ujung barat sampai ujung timur, seperti Shery, si gadis SD. Lalu melebarkan sirip ke berbagai negara dan benua seperti Paus Biru, si penjelajah samudra. Saatnya eFishery punya anak, seperti orang utan?

Mari tumbuh bersama, eFishery!

Andalan

September Berpindah; September Pilu

September adalah salah satu dari 3 bulan yang penulisan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Ingggris sama persis. Dua lagi bulan apa aja ya?

September merupakan bulan kesembilan dalam Kalender Julian dan Georgian, yang sekarang kita pakai. Serta merupakan salah satu dari 4 bulan yang memiliki jumlah 30 hari. Yang lain apa aja hayo?

Tapi tahu enggak sih? September berasal dari bahasa latin “septem” yang berarti tujuh. Kok bisa? Katanya bulan kesembilan? Tapi artinya tujuh?

Jadi begini. Jaman dulu, pas masih pakai Kalender Romawi, jumlah bulan itu cuma ada sepuluh. Ga kaya sekarang yang ada dua belas. Nah, bulan ketujuh dari sepuluh bulan Kalender Romawi ini yang disebut September. Kemudian sejak masuknya bulan Januari dan Februari di awal tahun, bergeserlah September ini jadi bulan ke-9. Begituh.

Apa yang unik dari datangnya bulan September? Tanggal 1 September menjadi awal datangnya musim gugur untuk belahan bumi utara. Dan menjadi awal datangnya musim semi di belahan bumi selatan.

Bulan September, bagi kita yang berada di daerah tropis, matahari lagi di atas kepala banget. Bayangan kita hampir ga kelihatan di siang hari bolong. Kejadian matahari yang melintas tepat di atas garis katulistiwa, disebut equinox. Terjadi dua kali dalam setahun, ketika matahari menyeberang dari belahan bumi selatan ke utara, dan sebaliknya. Nah equinox kedua, ketika matahari menyeberang dari belahan bumi utara ke selatan, terjadi pada bulan September. Tanggal tepatnya bervariasi di tiap tahun, yang jelas diantara tanggal 21-24 September.

Apalagi ya info terkait Bulan September? Orang yang lahir antara 1-22 September memiliki Zodiak Virgo. Sementara yang lahir pada tanggal 23-30 September memiliki Zodiak Libra.

Mari kita lanjut dengan membahas 2 lagu terkenal terkait dengan Bulan September. September Ceria adalah lagu yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata, yang dirilis pada tahun 1982. Pengarangnya, James F Sundak menulis lagu ini karena “Seluruh dunia merasakan perubahan pada bulan September”. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manusia mengalami perubahan musim. Di Indonesia sendiri, sebelum negara Global Warming menyerang, September adalah awal datangnya musim penghujan, sekaligus awal musim tanam padi. Pada Bulan September sendiri, ada 16 peringatan hari internasional dan 15 hari nasional.

Lagu kedua tentu saja Wake Me Up When September Ends milik Green Day. Lagu ini masuk di album ke tujuh band rock asal Amerika tersebut, yang bertajuk American Idiot (2004). Pengarangnya adalah sang vokalis, Billie Joe Armstrong. Lagu ini bercerita tentang kematian ayahnya, ketika ia masih berusia 10 tahun. Ayah Armstrong meninggal karena penyakit cancer esophageal, pada tanggal 10 September 1982. Di Amerika sendiri, lagu ini menjadi simbol untuk mengenang kejadian 9/11 dan Badai Katrina pada 2005.

“I think it’s something that just stayed with me; the month of September being that anniversary that always is just, I don’t know, kind of a bummer,” – Armstrong.

Jadi, jangan lupa Hari Sabtu, 1 Oktober 2022 nanti, bangunkan temen-temen kalian yang habis hibernasi sebulan ya.

Panggilan Alam

Andalan

Aku punya bulan-bulan favorit untuk traveling. Tapi justru bukan berdasar pada kondisi / cuaca / musim terbaik untuk bepergian. Melainkan, semacam ada siklus tahunan, dimana muncul perasaan aneh, mengganjal, seperti linu kesemutan di persendian, yang mendorongku, lebih tepatnya membuatku ingin kabur, mbolang dan menghilang dari kehidupan nyata, serta melarikan diri dari tanggung jawab yang membebaniku. Perasaan aneh ini biasanya mulai muncul di awal Bulan Desember. Hingga biasanya memuncak di Januari. Panggilan Alam.

Hmm, coba kutarik mundur, meingat-ingat kapan pertama kali rasa ini muncul. Kayaknya pas aku masih kuliah sepuluh tahun yang lalu. Awal Desember 2012 muncul kehampaan tadi, yang membuatku ingin mbolang, sekedar pergi entah kemana. Tapi karena waktu itu belum ada modal, biasanya kuwujudkan dengan explore Bandung Raya, ke sudut yang belum pernah kujamah sebelumnya. Pernah disuatu 3 Desember, aku mengeksplore daerah Cicalung, Maribaya. Menembus jalan makadam Perkebunan Kina Bukti Tunggul. Pasrah saja andaikan motor bocor. Melipir kaki Gunung Palasari. Meng-gelender ke selatan mampir ke Alun-Alun Uber.

Pada Desember tahun yang berbeda, aku menikmati naik motor sambil hujan-hujan mencari bekas lokasi TPA Leuwigajah, yang kini sudah menjadi area pesawahan nan cantik. Pernah juga karena mendengar kabar burung jalanan Bukanegara sudah diaspal mulus, aku nekat menembus jalur Maribaya – Cipunegara itu. Tapi astagah, setelah melalui Puncak Eurat, jalanan mulai rusak. Bahkan setelah melewati Pabrik Teh kuno Bukanegara, jalanannya berupa tumpukan batu. Berkelok-kelok sepanjang belasan bahkan puluhan Kilo Meter. Dan lantaran batuannya setajam itu, hanya bisa dilalui dengan kecepatan max 10 Km/jam. Lebih dari itu peluang ban bocornya memburuk, melebihi 50:50. Gblek.

Bergeser ke akhir tahun, sekitar natal, ketika kuliah akhirnya libur, saatnya gunung yang menjadi sasaranku. Semeru, Prau 2X, Ciremai, Argopuro, Kelud pernah mengisi fase-fase liburan natalku. Yap, aku suka kehujanan di gunung.

Tahun baru, tak usah lah kemana-mana. Macet, penuh. Aku lebih suka tahun baruan bersama keluarga. Bikin api unggun, atau sekadar bakar jagung di halaman, sudah menjadi momen paling menyenangkan. Asal bersama keluarga.

Masuk Januari, saatnya berganti tema lagi. Januari adalah waktu terbaik untuk hunting sunset. Ketika matahari jatuh secara langsung di atas cakrawala, air laut selatan, tanpa penghalang daratan. Pada bulan itu, warna langit yang sedang lengkap-lengkapnya. Maha karya naturalisme yang memadukan segala kombinasi RGB. Cuman ya, ini cuma kalau lagi beruntung ya. Namanya juga Januari, kan lagi puncak-puncaknya musim hujan. Jadi ya pasti bakal lebih sering senjanya bermendung kelabu, dari pada cerah tanpa cela.

Mungkin justru disitu tantangannya. Tatkala berkali-kali hunting ke pantai: Anyer, Selatan Jogja, Pacitan. Belasan kali selalu gagal. Namun akhirnya, pada percobaan kesembilan belas mendapatkan sunset yang maha sempurna. Matahari bulat jatuh dan tenggelam ke permukaan air, tanpa penghalang sehelai awan pun. Menyajikan warna paling menawan ala senja Januari. Terbayar.

Ya begitulah ritual akhir tahunku. Rasa itu biasanya muncul di sekitar Desember. Kadang maju ke November, (meski akhirnya tetap baru bisa dituntaskan di Desember). Paling parah, pernah maju ke Oktober, yang akhirnya membuatku kabur hiiling hiiling tii injing ke Gunung Slamet.

Kampretnya, tahun ini rasa itu datang lebih cepat lagi. Baru bulan September, sendi-sendi tanganku sudah merasakan panggilan alam itu. Aku rindu tertimpa air hujan. Hujan yang deras, tapi tak melukai. Hujan yang turun berjam-jam. Kehujanan saat naik motor mengeksplore ranah baru. Kehujanan saat jalan kaki nun jauh di tengah hutan.

Haha, tapi aku tak berharap kehujanan saat menyusuri lingiran Puncak Agung Oktober nanti. Tapi jelas, aku berharap diterpa hujan syahdu saat menyusuri Alas Lali Jiwo, Arjuno-Welirang, November nanti. Seperti saat aku berada di tanjakan Patak Banteng, Prau. Seperti saat aku kehujanan di Jambangan, Semeru. Seperti saat aku hampir kesasar di Sabana Cikasur, Argopuro.

The Breaker-of-Impossibility Eleven

Andalan

Malabar, 9 September 2022

Tulisan ini saya dedikasikan untuk panitia Bonding Proddev eMall Q3 2022.

Sekitar dua bulan lalu, dalam sebuah retro Swimlane Fund, disepakati pada Q3 2022 ini harus ada bonding offline untuk Proddev eMall. Setelah cek ombak pada tanggal 12 Juli, ternyata peminatnya banyak. Maka di tanggal 19 Juli dibukalah oprec panitia. Tebentuklah Kesebelasan Panitia Proddev eMall FC, dengan formasi:

Setelah melalui diskusi async yang kurang converging, akhirnya panitia melakukan rapat sync pertama kali pada 2 Agustus. Perdebatan utama pada meeting pertama ini adalah lokasi bonding mau di kota mana. Perdebatan kedua adalah budgetnya gimana? Dengan metode musyawarah mufakat yang ujung-ujungnya voting, akhirnya terpilih lokasinya di Batu, Malang, pada tanggal 7-9 September. Nah, masalah selanjutnya adalah emang budgetnya bakal diapprove? Dengan modal nekat dan bismillah, coba aja dulu.

Keren, tim bergerak cepat. Bendahara langsung cek sisa dana bonding per orang ke P&C. Tim Akomodasi & Konsumsi langsung nyari list Villa di Batu yang ada paket cateringnya. Tim Acara langsung memastikan jumlah peserta, karena akan menentukan jumlah budget. Tim Transportasi segera mengecek harga tiket dari Bandung, Jakarta, Bali, Makasar, Palu.

Berita buruk, seminggu kemudian, tanggal 9 Agustus, menurut data dari P&C, sisa dana bonding kami tak sampai seperlima dari RAB yang sudah disusun, lol. Setelah menggali info sana-sini, ternyata mulai di Q3 ini, budget bonding ada cut off per kuartal. Jadi dana bulan Juni dan Juli, yang tidak kami pakai hangus, hikz.

Tak menyerah, kami segera mengajak tim P&C meeting. Dengan se-magazine peluru argumen yang sudah dikumpulkan sebelumnya, kami melakukan nego sana-sini. Tapi buntu. Hanya menyisakan sedikit celah, budget bisa lebih besar jika ada agenda visit, meeting / training, dan bonding yang digabungkan jadi satu. Lantaran pos / sumber pendanaan yang berbeda untuk masing-masing kegiatan ini.

Bendahara tangguh kami, Saffira langsung memecah RAB menjadi 3: Visit Petani, Outbound Bonding, dan Meeting Offline Strategic Session. Tim Acara pun memutar otak, merombak rundown-nya. Tim Konsumsi kembali meramu racikan menunya.

Long story short, H-16 belum semua item berhasil dikunci. Tak semudah itu Fergusoh! Waktu sudah mepet. Akhirnya kami mulai mencari pencerahan ke Suhu Aldith dan Suhu Imam Reiza. Terima kasih pertolongannya Suhu, insyaaAllah akan kami berikan sesaji berupa kaos Proddev eMall.

H-14, RAB masih belum bisa dikunci. Setelah melalui perjuangan nego ke vendor; perjuangan membongkar pasang item, acara, jadwal untuk menekan budget sekecil mungkin; baru di H-11, Sabtu, 27 Agustus, RAB akhirnya bisa diajukan via email.

Karena weekend, akhirnya Pak Head baru meng-approve di Senin. Sementara Pak VP akhirnya meng-acc di Rabu, 31 Agustus, H-7. Dag-dig-dug pokoknya. Makin dag-dig-dug lagi, karena setelahnya masih ada step approval dari 3 pos penyedia dana yang berbeda. Kalau ampe jadi, bisa berangkat ke Malang aja, rasanya udah bersyukur buanget nget.

Saffira langsung melancarkan jurus-jurus negosiasinya ke pos P&C, FAT, GA, bak Tim Parnership yang sedang nego ke Funder Kabayan. Kami pun memohon pertolongan kepada Dewa Aldith dan Dewa Imam untuk turut meminta approval ke 3 Funder yang akan mendisburse dana bonding kami.

Hari Jumat, 2 Agustus, ternyata masih ada 1 funder yang belum meng-approve request disbursement. Dana belum bisa cair sebelum ketiga funder meneken approval. Kami mulai stress, putus asa. Peserta sudah mulai mempertanyakan bondingnya jadi apa enggak? Kami makin desperate.

Weekend berlalu tak sedap, apalagi buat Bu Bendahara. Senin sore ketika tiba waktu tech meet dengan peserta. J-24 keberangkatan, kami masih belum bisa menjawab pertanyaan: apakah kami bisa berangkat bonding? Tuhaaaann, tolong kami!!!

Akhirnya, finally, akhire, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, uang bonding kami turun pada Hari Senin, 5 September 2022, pada pukul 18.42 WIB. Tiket langsung dibeli. Villa, Catering, Outbound di-DP. Untung weekday, kalau weekend mungkin sudah lepas villanya, sudah habis tiketnya.

Akhirnya disburse T,T

Alhamdulillah Proddev eMall jadi visit ke petani, di Waduk Karangkates, Malang. Alhamdulillah kami jadi bonding acara outbound di Coban Talun, Kota Batu. Alhamdulillah kami jadi Strategic Session dan Super Deep & ‘High’ Sharing Session di Villa Pinus 2 termewah.

Memang tak 100% lancar. Banyak drama dan perjuangan. Saffira, si Seksi Paling Stress malah ketinggalan kereta pas berangkat lah, sehingga harus menyusul naik kereta ke Surabaya malamnya. Satu petani yang tiba-tiba harus ke kota, sehingga peserta terpaksa ngobrol dengan anak kolam dan petani lain yang berdekatan. Peserta yang keasyikan visit sampai lupa makan siang lah. MC outbound yang sok-sokan ngasih motivasi ala-ala corporate, yang jelas ga nyambung sama culture start up lah. LOL pokoknya.


Terima kasih untuk Idang dan Naufaldi yang mau survey lokasi villa tanpa mau diganti uang bensin dan makan.

Terima kasih untuk Handi dan Rafif yang bikin triple acara dan nyetakin kaos yang super keren.

Terima kasih untuk Delia dan Rizka yang taktis memilih menu, jajanan, sate bebakaran dan jagung bakar.

Terima kasih untuk Idang dan Badak yang memastikan peserta bisa sampai ke Malang dan pulang dengan selamat.

Terima kasih untuk Hanifan dan Naufaldi yang sudah jadi joker yang memeriahkan suasana. Wkwkw. Haha ga cuman itu doang kok, sudah menyediakan seluruh peralatan yang dibutuhkan untuk melancarkan acara.

Terima kasih untuk pengorbanan Rafif yang…, (what happened in Malang stays in Malang aja).

Terima kasih untuk Saffira yang udah bawel ke para Funder. Wkwk.

Dan atas semua perjuang extramile, over (working) time, yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Kalian semua adalah panitia terbaik. Kalian semua sangat proaktif, gercep sat set sat set, dan sangat bisa diandalkan. Like a Pro EO! Beribu terima kasih. Karena tanpa kalian, acara ini hanya akan jadi wacana, tak akan pernah jadi nyata. Eaa…

Selamat istirahat. (Jangan lupa nanti bikin LPJ, wkwkwk…)

Siapa Kitaa?

PRODDEV EMALL!!

Proddev eMall?

KAYA! KAYA! KAYA!!!

(too lol)

Andalan

Si Hitam Putih yang Tak Lekang Oleh Waktu

Jika kamu membuka IMDb Charts Top 250 Movies, ada 1 film berbeda yang bertengger di top ten. Apa bedanya? Karena ini adalah satu-satunya film hitam putih yang bisa bertahan di papan atas, di tengah serbuan film-film modern yang tentunya digarap dengan budget dan teknologi yang jauh lebih tinggi. Tak lain tak bukan, film legenda: 12 Angry Men.

Film 12 Angry Men, yang dirilis pada tahun 1957, bukan lah satu-satunya film jadul yang berhasil masuk ke Top 50 IMDb. Ada 7 film jadul lainnya yang masuk ke Top 50, misal: Rear Window (1954) dan It’s a Wonderful Life (1946). Dua film ini memiliki alur yang bagus. Tapi jika dibandingkan dengan alur film-film modern, yang pastinya jauh lebih kreatif dan berkembang, jelas alur cerita kedua film ini kalah. Tapi disinilah kelebihan 12 Angry Men. Alur dan plot twist-nya tak lekang oleh waktu, masih relevan, tak kalah, bahkan jauh lebih baik dari banyak film masa kini.

Kerennya, 12 Angry Men, yang digarap oleh sutradara Sidney Lumet dan ditulis oleh Reginald Rose ini, berbujet kecil loh. Pemeran non cameo ya hanya 12 orang “marah-marah” ini. Sisanya bisa dibilang cameo, karena muncul di layar kurang dari 15 menit. Set nya pun cuman ada 3: Ruang persidangan, ruang juri, dan toilet ruang juri.

12 Angry Men

Film, yang dibintangi aktor legenda Henry Fonda ini, bercerita tentang 12 juri persidangan yang harus memutuskan tentang sebuah kasus pembunuhan. Semua bukti dan saksi jelas mengarah ke satu tersangka. Mereka harus membuat keputusan mudah, menetapkan si tersangka menjadi terpidana. Tapi…, apakah semudah itu?

Subjektif penulis terkait film ini: Suka sama alurnya, suka sama plot twist-nya. Suka dengan kedalaman akting setiap karakternya. Suka dengan fakta, meski minimalis penggarapannya, tapi bisa menghasilkan sebuah maha karya yang everlasting. Pantaslah jika 12 Angry Men ini mendapatkan rating 9.0 di IMDB. A must watch movie. 👍

Andalan

Kulo

Alkisah ada seorang anak remaja bernama Kulo. Ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Kulo ini anak yang sangat pendiam. Setiap ditanya temannya mengapa ia tak banyak bicara, jawabannya: ‘Kata Nabi, diam adalah emas. Jika tidak bisa mengatakan yang baik, diamlah.’ Itulah pembenaran Kulo dari sejak SD, yang membuat ia semakin nyaman dan tenggelam dalam kediaman.

Beruntung, masih ada yang lebih pendiam di kelas Kulo. Si anak ini levelnya sudah penyihir. Tiba-tiba hilang di jam pelajaran, tanpa ada yang tahu dia kemana. Misterius.

Diamnya Kulo, menjadikan kehidupan SMA-nya anyep. Ia sebenarnya suka pada seorang gadis di kelas sebelah. Cantik, secantik Ran Mouri. Mereka dulu pernah sekelas, di kelas satu dan kelas dua. Namun keintrovertan Kulo, membuatnya memilih diam. Tak pernah diungkapkan, meski sebisa mungkin ditunjukkan lewat perhatian. Hingga hari terakhir sekolah, setelah pengumuman kelulusan, rasa cinta itu tetap tak pernah terucap.

Memasuki dunia kuliah, Kulo terdampar di kota nan jauh, Kota Kembang, Bandung. Karakternya yang tertutup, membuat adaptasinya menjadi sangat sulit. Masa orientasi kampus pun berevolusi menjadi orientasi kehidupan. Ini pertama kalinya Kulo merantau jauh dari rumah.

Beruntung, panitia ospek membuat kelompok-kelompok untuk peserta. Setiap kelompok hampir dua puluh peserta. Di antara pemuda-pemudi itu, ada yang nampil jadi ketua. Ada yang mengambil peran sebagai joker si penghibur. Ada yang memosisikan diri sebagai sponsor, karena berada. Kulo, ah sudah lah, jadi karung berisi brengkalan tembok teronggok di sudut kebon, diam, tak dianggap.

Kulo sadar, kuliah adalah masa transisi menuju dunia nyata. Ia harus tumbuh dan belajar, mengembangkan skill, salah satunya adalah membangun relasi. Ia tak akan survive di alam liar kehidupan, jika tak punya teman. Ia harus lebih banyak bicara, aktif berkomunikasi, mencari teman, menunjukkan peran dan kemampuan, supaya layak dijadikan “relasi”.

Tapi, aduh mama sayange! Bukan sombong sama sekali tak niat bicara. Bukan pula goblok tak bisa menyusun kata-kata. Sudah ada kata-kata yang tersusun rapi di kepala, bahkan di-edit berulang-ulang supaya sempurna untuk dilontarkan. Namun sayangnya, selalu tercekat di pangkal lidah. Dari sepuluh kalimat yang sudah Kulo susun di otak, seringkali hanya satu yang mampu membebaskan diri, meluncur keluar dari mulutnya. Sepertinya Kulo punya perfectionist syndrome.

Gagal, Kulo belum berhasil mengubah karakternya. Tak mudah. Susah menuju mustahil bagi Kulo untuk bisa banyak bicara.

Beruntung, terlalu banyak keberuntungan memang. Kulo mendapatkan kesempatan kedua: mereset ospek dari awal. Kok bisa? Sebulan kemudian, Kulo diterima di kampus lain yang lebih bergengsi. Ia segera memustuskan pindah ke kampus baru, kampus biru. Meninggalkan kampus lama yang belum lama, yang sudah ia anggap gagal bahkan di garis start.

Belajar dari temen-teman sekelompok ospek di kampus lama. Ternyata karakter joker yang paling mudah mendapatkan perhatian. Maka Kulo berusaha menjadi joker di kelompok barunya. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia sengaja menampangkang kekurangannya.

Dan ternyata berhasil. Ia menjadi sosok paling vokal di kelompoknya. Hmm, sepasang paling vokal lebih tepatnya, bersama seorang cewek ceriwis dari Banten.

Dari sana Kulo terus mengasah skill becandanya. Sering-sering nonton OVJ. Banyak-banyak baca blog lucu dan tebak-tebakan. Hingga suka melihat stand up comedy. Sampai akhirnya kini Kulo bisa lancar mengalirkan joke-joke lucu. Bahkan kadang malah dark joke.

Kulo adalah Bahasa Jawa Krama dari aku atau saya.

Andalan

Kesasar di Bandung

“Eh, aku tadi kesasar. Dari belakang Gedung Sate ke Selatan. Bunderan Masjid Istiqomah lurus. Eh, bukannya ketemu Jalan Riau, malah nyampe-nyampe di Supratman.”

“Bandung tu jalannya aneh. Gak tegak lurus, serong-serong, lengkung-lengkung. Banyak jalan searahnya lagi.”

“Iya! Gak kaya Jakarta. Dari Depok mau ke Tangerang Jelas. Tinggal lurus ke utara, lewat UI, Lenteng, Pasar Minggu. Ketemu Pancoran ke kiri. Ketemu MTA ke kiri. Lurus udah Tangerang. Lurus lagi ampe Merak.”

“Jogja lebih enak. Terserah aku lagi di mana. Tinggal ke arah luar kota. Ketemu Ring Road, udah selamet bisa pulang.”

Begitulah kurang lebih curhatan para pendatang yang baru setahun dua tahun menetap di Kota Bandung. Bahkan mungkin ada yang sudah sepuluh tahun, tapi masih mengalami kendala yang sama?

Itulah Kota Bandung, yang sejak dari jaman kumpeni didesain menjadi kota pendidikan. (Tapi kenapa malah Jogja, ya, yang dapet julukan Kota Pelajar). Iklim sejuk, pemandangan pepohonan hijau dan pegunungan yang mengelilingi, menjadikan kota ini cocok untuk ekosistem belajar. Otak lebih tidak mudah panas kena suhu sekitar yang dingin. Jika stress belajar, tinggal melihat pemandangan hijau dan pemandangan geulis. Banyaknya jalan searah mengurangi jumlah perempatan yang harus dipasangi lampu merah, tak perlu ada kemacetan – “dulu”.

Meski saya memiliki ilmu pythagoras, JTA (Jurusan Tiga Angka), dan navigasi yang sehandal mungkin, tapi kalau harus mencari tempat di daerah Citarum, apalagi Cihapit, yang bak labirin kusut, pasti saya akan nyasar. Untungnya sekarang sudah ada G-maps. Nyasarnya jadi bekurang lah. Tapi ada G-maps sekalipun, 6 tahun saya kuliah di Bandung, kalau lagi di jalan ini belok ke sini, ketemunya di mana saya tetap tak tahu.

Hingga akhirnya, ada satu hal yang dapat membuat saya hafal jalanan Citarum dan Cihapit Kota Bandung, yang berkelok-kelok, bak jalan semut itu. Ketika akhirnya di tahun 2018 saya join BRP (Bandung Raid Party), kominitas gabungan dan terbesar para pemain Pokemon-Go di Kota Bandung. Wkwk.

Karena sering nge-raid bareng, akhirnya saya ikut muter-muter Kota Bandung, nemplok dari satu gym ke gym lainnya. Explore daerah Cihapit, Cibadak, Gerlong, Cicendo, bahkan sampai Sukawarna. Puncaknya, karena saking sering ikut nge-raid bareng, pada saat event Legend Raid Day, saya ditunjuk sebagai salah satu ketua kelompok. Tugasnya memandu tim mengikuti rute dari satu gym ke gym yang lain, untuk bisa ngeraid sebanyak mungkin, dalam waktu 3 jam.

Hingga akhirnya saya pensiun main Po-Go di tahun 2020. Setelah ratusan atau ribuan jam terbuang, membesarkan 2 akun level 40. Usai jutaan rupiah terbelanjakan untuk beli items, merawat 5 akun. Ada manfaat yang saya dapat dari main Po-Go. Saya jadi hafal jalan-jalan kusut di Kota Bandung, termasuk jalanan di Citarum dan Cihapit.

Terima kasih BRP. Terima kasih DRT. Terima kasih PGB. Terima kasih RPGS.

Gotta Cacth ’Em All!

Andalan

Shiver Down Your Spine

When the last time you feel shiver down your spine for excitement?

Kita masing-masing pasti pernah punya momen seperti itu. Saking excited-nya, over excited sampai sulit diucapkan dengan kata-kata, bagian tubuh kita sampai merinding. Bisa di tangan, bisa di kaki, bisa di punggung.

Bisa jadi ketika pertama kali kita mau naik pesawat. Ketika pertama kali mau ke luar pulau. Mau ketemu artis pujaan. Pertama kali kita mau naik gunung. Mau ketemu pasangan LDR setelah berbulan-bulan terpisah jarak dan waktu. Atau pertama kali mau ke luar negeri.

Aku sendiri pasti punya banyak momen seperti ini seumur hidup. Apalagi waktu kita kecil kan ya. Tapi coba kusebutkan yang terjadi ketika di eFishery saja.

Pertama kali sepertinya terjadi pada suatu malam di Riau 11. Langit malam sedang cerah, sehingga pemandangan lampu Kota Bandung sedang cantik-cantiknya. Khai tiba-tiba mengajak main capsa. Ini kali pertama, dan terus berlanjut tiap malam, hingga lahirlah channel Pasukan Capsa.

Kondisi malam kemarau itu sedang dingin. Aku, Rafif, Khai, dan Sjarif main capsa sampai larut, sembari berkelakar dan saling ledek. Momen guyup ini menerbangkan ingatan dan jiwaku ke masa lalu. Tatkala aku, dengan konyolnya, 3 malam 2 hari harus bermalam di Kalimati, Gunung Semeru. Suhu dingin, rintik hujan, kehabisan kegiatan. Demi mengusir bosan dan membunuh waktu, kami main capsa siang dan malam. Itu momen spesifik yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Dan main capsa di Riau 11, menerbangkan diriku kembali ke sana. Badanku merinding, rindu Semeru. Rindu naik gunung lagi.

Kali kedua, setelah setahun lebih vakum naik gunung, bersama teman-teman Tembakvl, akhirnya kami akan naik Ke Gunung Slamet. Gunung  yang merupakan atap Jawa Tengah ini, menjadi salah satu Bucket List-ku. Momen, hari-hari, ketika akhirnya aku akan, segera, tak lama lagi, mencapai Puncak Slamet, sent shivers down my spine.

Terakhir, belum lama ini. Meski aku pernah ke sana, tapi nyatanya, 17 Agustus nanti, akan naik ke RInjani, membuatku merasakan goosebump di lengan dan sikuku. Mungkin karena RInjani adalah gunung yang pertama kali kudaki dulu. Dan mungkin karena Rinjani masih menjadi gunung terindah yang pernah kudaki.

Saat merasakan sensasi ini, aku bercerita pada Mang Hakim. Awalnya ia bingung, susah menerjemahkan sensasinya seperti apa. Tapi begitu kami berdua selesai booking tiket pesawat ke Lombok beberapa minggu kemudian, Mang Hakim bilang, “Jadi kita jadi, nih, ke RInjani?”

“Iya, Mang, kita jadi ndaki Rinjani.” Jawabku dengan semangat.

Tak lama Mang hakim berkata, “Anjir, iya euy, kerasa merindingnya di tanganku.”

Sabana Sembalun Rinjani

—-
Kalo Kamu, iya Kamu. Kapan terakhir kali merasakan sensasi seperti ini?

Mau?

Yuk naik gunung bareng Tembakvl eFishery!

Andalan

Waktu Itu Relatif

“Time is Relative” begitu kata Om Eisntein. Tak perlu menembus kecepatan cahaya, waktu hidup di bumi pun relatif.

Aku masih ingat suatu kejadian di kelas 3 SD. Kalau tidak salah itu pelajaran IPS, salah satu mapel yang tak kusuka. Dari awal, aku memilih duduk di bangku paling belakang. Ya, aku tak berminat memperhatikan pelajaran. Meski hanya 1 jam pelajaran, 45 menit. Tapi astagah, sepertinya ada yang sedang menghentikan waktu. Lima menit perlajaran dimulai, aku sudah kebosan. Lima belas menit berjalan, aku sudah berharap pelajaran ini segera berakhir. Tapi pas aku mengecek jam dinding, eh busyet, dari tadi ternyata baru berjalan lima menit. Astagah. Aku tersiksa tak berdaya menjalani sisa pelajaran.

Tapi, apa arti lima menit di usia kita yang sekarang. Kayaknya untuk searching satu item di Shopee atau Tokped pun lebih dari lima menit. Break tarik nafas di sela-sela kerjaan genting, sambil liat-liat WA atau IG pun, bablas dari lima menit.

Aku masih ingat juga saat kelas 2 SMP. Kala itu aku pulang piknik dari Malang. Bisku sampai paling dulu ke sekolah. Jam ditanganku menunjukkan pukul 00.30 dini hari. Aku segera ke wartel dekat sekolah untuk menelepon ke rumah. Sayangnya tak ada yang mengangkat. Sepertinya ayah, ibu, dan kakakku ketiduran semua.

Bus kedua datang sepuluh menit dari busku. Menyusul bus ketiga lima menit kemudian. Teman-temanku yang lain mulai berangsur pulang dijemput oleh orang tuanya. Ada juga yang naik motor sendiri — selama ditinggal piknik, motornya dititipkan ke warung langganan.

Masih ada sepuluh anak yang menunggu di area wartel. Untunglah, meski harus menunggu berjam-jam, paling tidak masih ada temannya. Hingga akhirnya, bus terakhir, bus keenam tiba. Banyak orang tua yang sudah stand by di depan sekolah. Cepat sekali peserta di bus ini lenyap. Sisanya ada yang menunggu di depan sekolah. Ada yang menunggu di depan wartel.

Waktu terus berjalan, tersisa kami berlima dari ratusan murid dan guru. Meski sudah pasrah menanti angkot pertama saat pagi tiba, aku berusaha menelpon ke rumah sekali lagi. Dan akhirnya telponku diangkat. Saat akhirnya aku dijemput, masih ada dua anak lagi yang tersisa. Sampai di rumah aku terkejut. Ternyata waktu baru menunjukkan pukul 01.30. Astagah, rasanya tadi aku sudah menunggu sampai jelang subuh. Tapi ternyata baru sejam berlalu, dari saat pertama kali bus ku datang.

Haha, bandingkan dengan saat ini, sejam bisa berlalu tanpa terasa. Kadang kita tak sadar sudah scrolling Tik Tok selama dua jam. Atau coba kamu nonton serries. Satu episode berlalu begitu cepat. Kalau ceritanya seru, eh, kadang tak sadar satu season sudah beres.

Kembali lagi ke masa Ramadhan, saat aku kelas 4 SD. Ashar adalah masa-masa kritis titik menyerah mau mokah (batal puasa). Beberapa kali tepat setelah mendengar azan ashar, aku menyelinap ke dapur, lalu meminum beberapa teguk air langsung dari porong (teko air).

Benar adanya istilah berbuka adalah lebaran kecil. Astagah, puasa sehari rasanya seperti puasa sebulan. Berbuka rasanya seperti lebaran. Baru hari kedua puasa saja, sudah berharap besok lebaran. Ketika akhirnya memasukin sepertiga terakhir bulan ramadhan, rasanya sudah tak sabar, saatnya membeli baju baru. Hingga akhirnya Sholat Idul Fitri tiba, berakhir sudah bulan terpanjang dalam satu tahun. Panjangnya dua hingga tiga kali lipat dibanding bulan lainnya.

Coba tengok saat ini. Puasa tanpa sahur pun woles-woles saja. Kita pasti bisa menuntaskan sampai maghrib tiba. Padahal dulu waktu kecil, kelewat sahur adalah bencana. Hampir pasti sebelum jam sembilan pagi kita sudah mokah.

Ingatkah kalian masa TK. Ingatkah kalian masa SD. Ketika satu caturwulan berjalan begitu lama. Lustrum terasa panjang dan menyenangkan. Libur cawu, meski hanya seminggu, rasanya sangat panjang dan buanyak cerita.

Coba bandingkan saat kuliah. Kayaknya baru bulan lalu UTS, kok sekarang udah UAS saja.

Atau kita tengok exactly saat ini, ketika pandemi menerjang. Pada saat kemarin kebijakan PPKM diterapkan, setahun rasanya berlalu begitu cepat. Bahkan 2021 seperti diskip, kita tak ingat apa terjadi di tahun itu.

Dengan waktu yang berjalan secara relatif. Jikalau kita diberikan umur sampai 63 tahun, seperti Nabi. Sebenarnya titik tengahnya bukan di 31.5 tahun. Jangan-jangan mediannya di 20 tahun, atau bahkan lebih cepat. Panjangnya dua puluh tahun pertama hidup kita, setara panjangnya sisa hidup kita setelahnya.

Apabila kini kita sudah berada di usia 25 atau bahkan 30-an. Artinya kamu sedang menjalani setengah sisa hidupmu. Dimana waktu berlalu lebih cepat. Dimana kejadian seru tak lagi sering muncul, sehingga tak banyak yang bisa diceritakan lagi.

Ada dua pilihan bijak. Pertama, mengamini waktu kita memang sudah tak banyak. Sehingga kita lebih fokus berinvestasi pada kehidupan setelahnya. Atau, ya bikin hidup yang ada di depan mata dan kedepannya seseru masa kecil dulu. Jangan cuman jadi squidward dan ikan-ikan di Bikini Bottom, yang tiap hari melakukan rutinitas dari bangun hingga tidur kembali. Lakukan hal-hal baru. Lakui passionmu. Kejar mimpimu. Supaya waktumu tak berjalan sia-sia, tanpa berbuah cerita.

Andalan

Kisah Surili Ciremai yang Terluka Mulutnya

Part 1

Part 1

Kisah ini terjadi saat aku pertama kali mendaki Gunung Ciremai di tahun 2018. Aku mendaki bersama seorang teman kantorku, bernama Iam. Dia mengajak satu teman lainnya, seorang perempuan bernama Mei, yang entah dia kenal dari mana. Tapi yang jelas, temanku Iam yang traveler ini, memiliki kenalan di seluruh penjuru Indonesia. Jadi tak perlu dibahas lebih lanjut.

Waktu itu, pagi hari sekitar pukul setengah tujuh. Kami yang naik dari jalur Palutungan, camping di pos 5, Tanjakan Asoy. Gunung Ciremai ini dikenal sebagai habitat bagi hewan khas Jawa Barat, Surili. Surili adalah monyet kecil lincah, berekor panjang, bertampang bule, berambut spiky, dengan warna bulu hitam, coklat, abu-abu, hingga putih. Dari kemarin sore, saat tiba di sini, kami sudah di sambut oleh sekawanan Surili, yang bermain-main di pepohonan sembari berteriak bersautan.

Pagi ini, kami akan melakukan summit attack. Namun sebelum mulai naik, kami harus mengisi perut dulu. Aku kejatahan untuk memasak Indomie. Si Mei Mei kejatahan mengambil air hujan yang kami tampung menggunakan trash bag, untuk bekal kami naik nanti. Sementara Iam kejatahan boker, katanya dia sudah sakit perut dari dini hari. Cuma, karena semalam hujan terus, akhirnya ia tahan sampai pagi.

Setelah air yang kujarang mendidih, aku memasukkan mie dan telur ke dalam nesting (panci yang bisa disusun bertumpuk macam matrioska). Sambil sesekali mengaduk mie, aku menikmati suasana zen di tengah hujan lembab pasca diguyur hujan ini. Udara nan segar kutarik dalam-dalam supaya memenuhi rongga paru-paru. Kulihat lintah sedang bergerak perlahan tak terlalu jauh dari kompor. Ia siap menunggu aku lengah, menempel lalu menghisap darahku.

Tiba-tiba terdengar suara dahan patah dari arah atas kiri. Nah ini dia yang kutunggu, satwa asli Ciremai, sudah kembali beraktifitas. Kulihat ada dua ekor Surili sedang berayunan dari satu dahan ke dahan yang lain. Suara mereka riuh seperti sedang mengobrolkan sesuatu.

Mieku sudah matang. Api trangia (kompor berbahan bakar spirtus) kumatikan. Tapi ternyata aku lupa belum mengeluarkan mangkok. Akhirnya aku masuk tenda untuk mencari mangkok dan saos.

Saat aku masuk ke tenda, ternyata kedua Surili itu turun ke arah tempatku memasak. Mungkin mereka tergoda dengan bau Indomie yang baru saja matang. Siapa sih yang tak tergoda. Hmmmm.

Satu Surili segera menjumput indomie rebus dengan tangannya.

Lalu ia berbunyi, “uh ah uh ah.”

Lalu Surili satunya berbunyi, “Makanya kalo makan Indomie rebus tu ditiup dulu, kepanasan kan, Lu!”

The end, kisah ini hanya 1 part.

Andalan

Cuma 10 hari?

Sepuluh hari menulis sudah terlalui. Sekarang kita sudah sampai di hari kesebelas. Yay, dapet bonus! Sesuai prediksi dari awal, saya pasti bisa beres menulis sepuluh hari tanpa ada yang terlewat. EZ, (wkwkw, som se ya, haha.)

Tujuh tulisan bertema dengan mudah saya libas. Temasuk tema yang pas pagi tahu, hmm…, bakal susah nih, food story. Ternyata pas nulisnya pun saya bisa mengalir. Ya, tapi semua itu berkat saya “pokil” (curang), semua tema saya jadikan cerita fiksi, wkwk.

Teringat dikala hari pertama challenge, di sesi expert sharing, Mas Ans memberikan trik bagaimana biar bisa menulis dengan mudah. Salah satu poinnya, untuk bisa sampai di titik menulis itu mudah, harus merasakan dulu fase menulis itu susah.

Ya, saya pernah mengalami fase menulis-itu-susah ini. Dulu saya pernah menulis novel 400-an halaman, Yang sayangnya, sampai saat ini tak pernah terbit. Bahkan draftnya ada dimana aja, saya sudah lupa, wk. Hampir tiap hari, saya memaksa dan membiasakan diri untuk menulis. Target harian adalah drafting satu bab. Setelah selesai drafting sekitar 43 bab, akhirnya masuk ke fase yang memuakkan: editing.

Saya punya 3 level editing. Editing fase satu untuk mencari kutu bernama typo, juga untuk memilih diksi supaya tulisan lebih enak / seamless untuk dibaca. Setelah typo hilang, saya ulangi lagi menjamahi tulisan, masuk editing fase 2. Di fase dua ini, saya kembali merevisi diksi biar tulisan makin mulus dibaca. Selain itu saya memastikan apa yang tertulis, apa yang akan ditangkap pembaca, sudah sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan.

Fase 3 adalah yang paling memuakkan, bahkan menjijikkan. Saya harus merevisi diksi, bahkan frasa, untuk memastikan emosi yang tertuang di tulisan, sesuai dengan emosi yang ingin saya jalarkan kepada pembaca.

Drafting, alias menulis mengalir di awal, ini mudah. Setengah jam saya bisa dapat sekitar dua halaman A4. Bahkan kadang lebih kalau semua alur sudah ada di kepala. Editing fase satu juga cepat. Editing fase dua mulai berat, setengah jam paling dapat satu halaman A4, atau kurang.

Nah, fase tiga yang kek setan alas. Satu paragraf belum tentu beres dalam setengah jam, tergantung seberapa akurat rasa dan emosi ingin saya sampaikan. Efeknya, kadang saya tak sanggup jika harus melakukan editing hingga fase 3. Hanya tulisan-tulisan yang sentimentil saja, yang ‘terpaksa’ melalui kawah candradimuka, editing fase 3.

Pada challenge 10 hari menulis ini, saya menggabungkan editing fase 1 dan editing fase 2, menjadi satu fase editing saja. Jadi buat saya, (yang pernah disiksa di neraka level 3), menulis santai ala 10 hari menulis itu mudah.

===

Saya ingin berterima kasih ke seluruh peserta yang sudah mau capek, invest waktu, berimajinasi, dan berkreatifitas menulis. Terima kasih untuk tulisan-tulisannya yang menghangatkan. Terima kasih untuk ilmu yang dibagikan. Terima kasih untuk cerita lucu yang menghibur.

Tampiaseh untuk Farid si rajin, yang tulisannya bisa dicontekin yang lain, untuk mencari inspirasi. Tarimo kasi untuk Adoh yang, tulisannya lurus, kadang menyentuh, kadang sudut pandang fiksinya seru. Matur suwun buat Rizka, atas sharing ilmu nutrisinya. Thank you buat Lino yang bahasa inggrisnya enak banget dibaca, dan cerita-ceritanya yang seru dan menyentuh. Hatur nuhun mamong yang punya banyak referensi makanan yang bikin pengen nyobain. Kesuwun buat Ans yang memberikan informasi out of the box, namun dengan sumber yang valid.

Terima kasih untuk Pak CEO meluangkan waktu untuk memberikan cerita yang inspiratif. Turnuwun buat ikhwan yang ternyata jago bernarasi, sayangnya suka bikin pusing gara-gara tulisan kesehatannya, wkwk. Hanupis buat Faris yang tulisannya menyentuh. Terima kasih untuk Elsa yang tulisannya bergizi. Terima kasih buat Amel untuk tulisannya yang jujur. Terima kasih untuk Givaldi, untuk tulisannya yang selalu memiliki pesan.

Meski sudah baca hampir semua tulisan. Tapi tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk semua peserta. Selamat menikmati keberhasilan, bagi para peserta, yang sudah berhasil mencapai target menulisnya masing-masing. Ivamos!

===

Ucapan terima kasih tertinggi tentunya teruntuk trio panitia tercinta, Shabeb, Dilah, dan Tissya. Makasih banget udah jadi fasilitator. Jadi tukang ronda nutup portal jam 11.59 malem. Trus buka portal dini hari habis tahajud, ngasih tema yang tok tok wow. Sama extramile ngurusin yang tulisan berantai. Itu ribet banget sih. Terimikisiiiii atas dedikisinyiii!!

===

Ada yang mau nemenin?

Andalan

Style Baru Bertualang Kuliner

Dulu, ketika masih tinggal di Boyolali, aku punya satu makanan favorit: Mie Ayam. Makanan lain, aku tak terlalu mengeksplor. Tapi untuk Mie Ayam, sampai warung di jalanan pelosok desa pun aku buru.

Dulu, ketika masih tinggal di Boyolali, aku punya satu makanan favorit: Mie Ayam. Makanan lain, aku tak terlalu mengeksplor. Tapi untuk Mie Ayam, sampai warung di jalanan pelosok desa pun aku buru.

Puncaknya, ketika selama setahun aku setiap hari harus pulang-pergi ke Solo untuk bimbel. Hari selasa kujadikan Mie Ayam day. Setiap warung Mie Ayam yang kutemui di pinggir jalan Solo-Boyolali, kucobai satu per satu. Sering kali, di bawah ekspektasi, sih. Cuman happy-nya kalau pas dapat jackpot. Tapi ni ya, sestandar-standarnya Mie Ayam di Solo dan sekitarnya, tetap lebih enak dari Mie Ayam di Bandung. Kalo ga terima, yuk main ke sana, kuantar merasakan Mie Ayam yang enak itu bagaimana.

Hingga akhirnya aku pindah domisili ke Bandung. Sebuah kota surganya kuliner. Akhirnya aku mengubah gaya berburu kulinerku. Mungkin alasan awalnya karena setiap kali hunting Mie Ayam, hampir selalu standar atau bahkan zonk. Akhirnya aku mengubah gaya bertualang kulinerku.

Saat ini, mode default jajan kulinerku adalah explore makanan dan kopi baru. Iya, pasti cukup sering zonk. Tapi sering juga dapat yang mak nyus kok. Karena somehow, aku diberkahi kemampuan untuk memilih menu mana yang tidak zonk, ketika makan di suatu restoran baru (untuk pertama kalinya). Ini pure skill yang tak dimiliki semua orang, sih. Soalnya, kakakku skill nya malah nyari yang zonk, wk.

Terkait skill tadi, mungkin karena dari awal niatnya explore, aku menurunkan, atau bahkan menghilangkan ekspektasi. Kalau dapet zonk, yaudah tinggal ga usah ke sini lagi. Kalo dapet jackpot, kasih rating bagus beserta komennya di g-maps. Lalu, kalo suatu saat kangen sensasinya, tinggal ke sana lagi.

Berbekal mode hunting kuliner yang baru, beberapa kali aku mendapatkan gem (meski nggak hidden, sih). Sebuah makanan, atau minuman, yang rasa enaknya itu baru pertama kali kurasakan, belum pernah ada di perbendaharaan rasaku.

Beberapa harta karun kuliner Bandung di katalogku:

1. Wlick & Bhate, Contrast Coffee & Roastery.

Dok pribadi

Kombinasi rasanya beyond expectation. Cream-nya gurih lembut. Gulalinya manis beraroma smooky. Kopinya pahit dan asam. Semuanya memadu dengan indahnya.

Saya pernah merekomendasikan ke mang Hakim, yang sebenarnya hanya menerima kopi hitam, tidak suka kopi putih/manis. Dan mang Hakim approved.

Saya pernah merekomendasikan ke Ivan juga, ketika dia dan keluarga main ke Bandung 3 hari. Katanya selama 3 hari, tiap hari ke sana, dan total sudah beli 10 porsi, wkwk.

2. Tantan Fish – Sambal Matah, Gang Nikmat – Cihapit.

Bentuk ikannya mungkin rada menyeramkan. Tapi ketika dimakan, rasa umami ikan dan kesegaran sambal matahnya meledak lalu membaur di mulut. Kematangan ikannya pas. Sambal matahnya pun salah satu yang terbaik.

3. Glazed BBQ Ribs w/ Garlic Croquette – Sydwic.

Sumber: Google Maps – Sydwic

Saat makanan datang, pertama aku kaget karena aroma asapnya kuat banget. Tapi begitu dagingnya kupotong, lalu kumasukkan ke dalam mulut, daging iga nan lembut berenang-renang di lidahku. Aduh mama sayangeee…, rasa kaldu, rempah, dan asap lumer di mulut. Hati dijalari kehangatan, dan jiwa sedikit melayang.

Andalan

Sebuah Ikrar

Tahukah kamu? Aku mengoleksi tiga jaket almamater dari tiga universitas berbeda. Dua jaket berwarna biru muda. Satu lagi berwarna unik. Warnanya biru tua di dalam ruangan, dan jadi hijau tua di luar ruangan.

Bagaimana aku bisa punya tiga jamal?

Singkat cerita, aku sudah kuliah di universitas biru muda yang pertama selama sebulan. Kemudian aku diterima di salah satu sekolah tinggi ikatan dinas, yang lulus langsung jadi PNS. Sebagai keluarga PNS garis keras, akhirnya kutinggalkan kampus biru muda pertama.

Pindah ke Jakarta, merasakan sumpeknya ibu kota. Aku menjalani kuliah di kampus Jalan Otista. Ada beberapa risiko yang sudah disampaikan oleh rektor dan wakilnya pada saat acara penyambutan mahasiswa baru. Kami harus siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Hanya yang nilainya super bagus yang bisa penempatan di Jawa. Lalu, kami juga harus berhati-hati, ada nilai minimal C untuk mata kuliah inti. Jika kurang, no babibu, Drop Out.

Semester satu berhasil kulewati dengan wajar-wajar saja. Namun kelas kami berduka. Satu teman kami, yang jauh-jauh datang dari Maluku, harus angkat koper. Ia di-DO.

Semester dua, kelas kami kembali berduka. Ada satu orang yang harus kembali menanggalkan mimpinya menjadi PNS, karena di-DO.

Aku.

Aku mendapatkan nilai D, untuk mata kuliah inti, Teori Peluang. Aku di DO-kan oleh seorang dosen yang aku tak akan pernah lupa namanya. Seorang dosen kejam, yang pernah men-DO-kan setengah kelas.

(Selanjutnya aku paham, ternyata aku memang tak berjodoh dengan Teori Peluang. Mau di bimbel, mau di kampus lain, mau sudah belajar sampai subuh, mau sudah membakar buku materi lalu menelan abunya, nilai Teori Peluangku mentok di C.)

Sialnya, sekolah kedinasan ini periode kuliahnya lebih lambat dari unriversitas yang lain. Artinya ketika aku tahu di-DO, tahun ajaran baru telah dimulai di kampus lain. Artinya aku harus menunggu satu tahun lagi, kalau mau kuliah lagi.

Aku mebuang waktu 2 tahun.

Ini adalah fase tergelap dalam hidupku. Fase terendah. Fase depresi. Fase menyerah.

Photo by cottonbro on Pexels.com

Tiap hari aku hanya tiduran di kasur. Tidak makan, tidak mandi. Hanya keluar kosan di atas jam 8 malam, untuk mencari makan. Tiap pagi, tatkala mendegar mantan teman-teman berisik lewat depan gang, hendak berangkat ke kampus laknat, puting beliung melanda batinku. Apalagi, jika melihat seragam biru mudahnya itu, rasanya…, sat!

Seminggu lebih aku terjerembab pada fase ini.

Aku bangkit karena teringat pada Novel Laskar Pelangi. Hingga akhirnya aku berikrar pada diri sendiri. Sebuah ikrar yang kuucapkan di depan teman-teman sekelas, yang mengunjungiku ke kosan, beberapa hari sebelum aku angkat kaki ke kampung halaman.

“Temen-temen, mungkin ini terdengar gila dan goblok.”

“Aku saat SMA, pernah punya cita-cita ingin masuk ke universitas favorit, di jurusan favorit, dengan nilai passing grade tertinggi di Indonesia. Namun waktu itu, aku urung mencoba. Aku tak punya cukup informasi, terkait persiapan masuk ke sana. Tak satupun kakak tingkat di atasku yang berhasil masuk ke sana.”

“Jika setelah DO dari sini, aku kuliah di tempat yang lebih rendah, maka dua tahunku ini, akan hilang sia-sia. Tapi, jika tahun depan aku bisa kuliah di tempat yang lebih baik dari sini, artinya dua tahun ini memang proses pendewasaan yang harus kulalui. Supaya aku layak berada di tempat yang lebih baik.”

“Maka hari ini aku berikrar dihadapan kalian, ingin masuk Informatika, ITB.”

Andalan

Babak Baru

Photo by Juan Pablo Serrano Arenas on Pexels.com

Aku punya guru, rekan kerjaku di kantor lama. Dia adalah guru bagiku dalam kebajikan, maupun dalam kebejatan, wk. BTW, belum lama ini, guruku join ke eFishery juga.

Suatu hari, di jaman aku masih galau-galau jejaka, aku bertanya: “Kenapa Lu kaga mau ikut naik gunung sama kita, sih? Kan Lu dulu hardcore?”

“Udah beda, Boi. Ga bisa.” Jawab guruku. Ngomong-ngomong, “Boi” adalah panggilan akrab untuk circle kami.

“Lah, Lu keluar kota berminggu-minggu aja bisa. Masa naik gunung dua hari aja kaga bisa?”

“Beda Boi, kalo Lu udah punya anak susah.”

Aku diam tak memotong, meski aku sebenarnya sudah punya pertanyaan counter di kepala. Karena aku tahu, guruku ini pasti akan menjelaskan dengan sendirinya. Ia kerap membagikan kisah, yang sering kali lucu dan konyol, tapi sarat petuah kehidupan.

“Ntar, kalo Lu punya anak, naik motor mau ngebut itu bakal mikir. Lu mau pergi jauh itu berat. Lu mau naik gunung, jadi kepikiran celaka. Mikirin gimana nasib anak Lu, kalo Lu ga ada.”

Aku mengangguk pelan. Walaupun aku (waktu itu) belum relate dengan kondisi yang ia ceritakan. Tapi aku yakin, dia tak sedang mengibuliku. Jadi aku berusaha menyambung benang merah, kucatat di memori, untuk suatu saat nanti dibuktikan sendiri oleh waktu.

“Eh, tapi titik berubahnya tu pas punya anak? Bukan pas nikah?”

“Kaga Boi. Gue kan punya anaknya nunggu lama tuh. Jaman udah nikah, sebelum punya anak mah, gua masih keluyuran sana sini. Masih naik gunung. Masih camping-camping di pantai. Masih maen sana-sini.”

“Udah lah, ntar Lu rasain sendiri.” Tutupnya.

[Lima tahun kemudian]

Setiap berangkat ke kantor, aku lebih suka naik motor. Karena memang salah satu hobiku naik motor. Ada momen sendirian, ketika aku naik motor. Yang jika bisa kunikmati dengan pikiranku sendiri, akan menjadi moment me time, yang bisa me-recharge energiku, alias healing tipis-tipis.

FYI, kalau kalian pernah melihat aku lepas stang saat menuruni Jalan Bukit Pakar Timur 4. Itu adalah salah satu caraku membebaskan adrenalin. Supaya ke-refresh dikit, biar ga gampang meledak.

Kembali ke laptop. Benar ternyata kata guruku. Kini saat naik motor, kecepatan maksimalku paling 60 Km/jam. Kalau pulang dikala malam, malah paling cuma 40 Km/jam. Padahal dulu, aku selalu mengatur kecepatan minimal di 80 Km/jam.

Ya, ada rasa itu. Aku harus lebih berhati-hati. Jangan sampai celaka. Aku masih ingin menemani anakku tumbuh. Aku masih ingin mengajari banyak hal padanya.

Ada satu hal lagi yang berubah. Misal ketika aku sedang berada di puncak gunung. Atau ketika aku sedang melihat sunset. Dulu, aku puas menikmatinya sendiri. Lalu ketika aku sudah punya gebetan, aku sangat berharap gebetanku berdiri di sebelahku, menikmati keindahan yang sama. Karena happiness meant to be shared.

Tapi semenjak aku punya Juna. Kemarin ketika aku bersama anak-anak Tembakvl main ke pantai Sancang. Aku merasakan experience baru, serunya menangkap udang dengan tangan kosong. Sebuah pengalaman baru yang amat seru bagiku.

Saat itu, ada rasa yang mencuat di lubuk hatiku. Andaikan ada Juna di sini, saat ini, ingin kuajari dia menangkap udang. Ini pengalaman langka, yang susah ditemukan di pantai lain.

Suatu saat, suatu saat akan kubawa dia ke sini.

Andalan

The Unusual Eggs

Pada sebuah rumah istana mewah ala sinetron Indosiar, terdapatlah suatu kejadian magis. Semua telur yang ada di rumah ini bisa hidup, baik yang berada di dapur utama, dapur indoor, maupun dapur outdoor. Hanya saja, telur-telur ini baru akan hidup, bergerak, dan bicara jika sedang tiada orang di rumah.

Di suatu pagi yang lengang, ada kemalangan terjadi. Sebutir telur ayam kampung pecah berantakan. Tepat di bawah meja memasak, yang letaknya tepat di sebelah kulkas, mayatnya berhamburan. Telur ayam kampung lain, yang merupakan kroni dari telur yang mati terjatuh, adalah yang pertama melihat jenazah korban. Ia berteriak histeris, hingga membuat telur-telur lain berhamburan keluar dari dalam kulkas.

Selang setengah jam kemudian. Datanglah polisi telur, si telur angsa, yang berbadan jauh lebih besar dari telur lainnya. Hari ini, sebenarnya jatah dia berjaga di sektor Dapur Outdoor. Begitu mendengar ada kecelakaan, ia segera bergegas menuju dapur utama.

Polisi telur angsa segera menghampiri mayat korban. Dari posisi cipratan cairan dan cangkang telur yang bertebaran, hampir bisa dipastikan, si telur ayam kampung ini jatuh dari meja memasak. Kemudian ia memeriksa setiap cangkang korban. Tak ada bekas sentuhan, dorongan, gesekan dengan telur lain. Apakah kasus bunuh diri?

Untuk membuktikan dugaan tersebut, Pak Polisi mengecek CCTV di dapur ini. Sayangnya lokasi kejadian adalah blind spot. Kejadian perkara tak terekam di CCTV. Tapi untungnya, setelah dilihat belasan kali, ada sebuah petunjuk. Ada bayangan di dinding yang memperlihatkan siluet kejadian, sebutir telur yang ukurannya sama atau sedikit lebih besar sedang mendorong korban.

Selajutnya, Pak Polisi telur angsa segera memeriksa TKP kedua, meja memasak yang tepat berada di atas posisi korban. Di situ, hanya ada satu jejak di pinggiran meja, dan itu telah dipastikan sebagai jejak si korban. Tak ada jejak lain yang bergerak mendekati posisi korban. Jadi kemungkinan ini bukan kejadian pembunuhan dengan cara mendorong korban ke tebing meja.

Setelah melakukan penyisiran lebih luas, Pak Polisi menemukan jejak telur yang lain. Ukurannya kecil, dan jalurnya tidak lurus. Semua orang tahu itu jejak siapa. Itu adalah jejak si telur puyuh, yang sudah tinggal di dapur ini selama berbulan-bulan. Karena terlalu lama disimpan, kondisinya memburuk, sehingga jalannya goyang-goyang meninggalkan jejak yang berliuk.

“Hmm…, mustahil dia pelakunya,” kata Polisi Telur Angsa di dalam yolk.

“Berdasarkan bukti yang ada. Tidak ada dugaan pembunuhan. Kemungkinan besar bunuh diri.” Terangnya pada masa yang berkumpul.

“Tidak mungkin!” Teriak si telur kampung, rekan si korban. “Saya kenal dia. Kami telur dari Kampung Beta, pantang bunuh diri. Kami adalah ras tangguh, pantang menyerah. Pasti ada yang membunuh nya. Banyak yang dendam pada kami, karena kami pernah…” Si telur kampung menghentikan ucapannya dan tampak berubah pikiran.

Dua telur kampung ini memang dikenal sebagai preman jahat di sektor Dapur Utama. Banyak yang telah menjadi korban. Sehingga ada banyak telur yang punya motif dan alasan kuat untuk menyerang keduanya.

Telur bebek dan temannya pernah dikerjai dua makhluk usil ini. Badan telur bebe diberi tato warna biru, sehingga dikira telor asin. Gara-gara tato tersebut, kawan si telor bebek, dibelah siempunya rumah dengan pisau, karena dikira telur asih. Yang terjadi selanjutnya, kawannya mati terbelah, dengan cairan yang meleleh, lalu dibuang ke tempat sampah.

Telor puyuh kini jalannya miring juga karena ulah dua telor kampung tersebut. Dulu ia tinggal bersama kawan-kawan yang lain di keranjang telur. Suatu hari, kawan-kawannya yang sedang tertidur di keranjang, dijatuhkan dari rak kulkas oleh kedua preman. Semua kawannya hacur berceceran di bawah kulkas. Ia sendiri beruntung selamat dari kejadian tersebut, karena sedang party di sektor indoor. Tak beruntungnya, karena tinggal sebutir, ia tak pernah dimasak oleh pemilik rumah. Memang kurang kerjaan sih memasak telur puyuh hanya satu butir. Hingga akhirnya, cairan di dalam tubuh si telur puyuh mulai rusak dan membuat jalannya tak lagi stabil.

Semenjak kejadian itu, Telur puyuh trauma dengan ketinggian. Semua maklum mengapa dia jalan agak jauh dari tepian meja. Dan semua maklum juga mengapa dia tak bisa melihat mayat Si telur kampung di dasar lantai.

Telor lehorn alias petelur juga hidup sebatang kara. Sebenarnya ia melihat dengan mata sendiri ketika telur-telur puyuh dibunuh secara berjamaah oleh kedua preman. Hanya saja, ia diancam akan dibinasakan oleh keduanya. Dan sekali lagi, karena tidak ada bukti, akhirnya ia memilih bungkam saja. Meskipun sebenarnya, kini ia membawa beban mental yang sangat menyiksa yolk alias kuning telurnya. Ini membuatnya depresi.

Semua kejadian itu tak pernah sampai ke meja hijau. Lantaran tidak ada bukti, Si duo telur kampung ini beraksi dengan sangat rapi, tak pernah meninggalkan sehelai bukti pun. Sehingga duo telur kampung tak pernah bisa ditangkap oleh Polisi Telur Angsa.

Berdasarkan bukti dan saksi yang ada, suspect pembunuh telur kampung jahat tinggal dua kemungkinan. Dilihat dari ukuran telur pendorong yang terekam di CCTV, kemungkinan pelakunya adalah telur bebek atau telur lehorn. Eh sebenarnya masih ada satu lagi, bisa jadi si telur kampung yang membunuh kawannya sendiri. Dunia premanisme kan memang kejam, siap menikam teman sendiri.

Terkait tidak adanya jejak langkah di pinggir meja memasak, juga tidak adanya sidik sentuhan di cangkang korban, bisa jadi pelaku memakai pakaian tertentu untuk menghilangkan jejak. Polisi Telor Angsa akhirnya memutuskan mengubah arah CCTV ke arah meja memasak dan kulkas, supaya tidak kecolongan lagi.

Keesokan paginya, Telur Angsa dipaksa bertugas kembali ke sektor Dapur Utama, padahal jadwalnya di Dapur Indoor. Telor puyuh melapor bahwa iya telah disekap sebutir telur dari belakang. Benar pelakunya memang memakai jenis penutup tubuh tertentu, sehingga ia tak bisa menerka, siapa yang sedang menyekapnya dari belakang. Si pelaku hanya menyampaikan satu pesan, bahwa ia akan beraksi lagi, dan membunuh si telor kampung sisanya.

Karena tak ada perkembangan, masa mulai membubarkan diri, menyisakan telur puyuh, telur kampung yang terlihat tegang, dan polisi telur angsa. Telor puyuh kemudian membisikkan kepada keduanya, “Aku tak begitu yakin, tapi menurut instingku begini. Kurasa yang tadi pagi menyekapku bukan telur bebek. Telur bebek hampir setua aku. Jika kalian perhatikan, jalannya mulai sedikit limbung sepertiku. Mungkin kalian tidak sadar, tapi aku yang sudah limbung dari lama ini, menyadarinya dengan jelas. Yang jadi soal, telur yang menyekapku tadi, jalannya masih lurus. Jadi sepertinya pelakunya si telur lehorn.”

“Oke, jangan bocorkan dulu informasi ini,” Kata Polisi telur angsa, “Aku akan menyelidikinya. Sementara kamu, Telur Kampung, selama tiga hari ini jangan keluyuran dulu. Tinggallah terus di rak telur di meja memasak. Area itu aman karena sekarang sudah diawasi CCTV 24 jam. Aku akan bertugas di ruang monitor CCTV di sana.”

Satu malam berlalu. Akhirnya kali ini tidak ada kejadian mencekam. Hanya saja si telur kampung menjadi kian resah.

Hingga akhirnya, di fajar hari selanjutnya terjadilah kejadian yang tak diinginkan. Si telor kampung melabrak si telur lehorn. Ia mengajaknya berduel di meja memasak. Si telur kampung yang dibrojolkan dari ayam yang ulet ini unggul jauh dibanding si telur lehorn yang keluar dari pantat ayam yang manja dan hobinya makan doang.

Telur ayam kampung mendesak telur ayam lehorn ke tepian jurang. Telur ayam lehorn terus memelas minta ampun dan berusaha menjelaskan bahwa ia tak akan pernah berani membunuh kawan si telur kampung. Mana mungkin, membocorkan kejadian mereka membunuh telur-telur puyuh pun tak pernah ia lakukan, sekata pun tak pernah keluar dari mulutnya.

Kejadian kian menegangkan. Si telur kampung kemudian menenggak habis alkohol di botol yang ia genggam. Dengan tatapan sadis, ia berteriak, “Mati kau!”

“Jangaaan!!” teriak telur bebek yang berdiri agak jauh dari mereka.

“THIS IS SPARTAAAAA!!” Telur kampung menerjang telur lehorn dengan kakinya. Akhirnya si telur lehorn terjungkal kebelakang, lalu melayang beberapa milidetik, sebelum akhirnya pecah berhamburan di lantai.

“Tidaaaaaaak!” Teriak telur puyuh dengan suara bergetar. “Apa yang kamu lakukan telur kampung. Sudah kubilang semalam, jangan nekat. Sekarang lokasi ini diawasi CCTV. Kali ini kamu akan terbukti bersalah.”

Telur kampung yang semula dikuasai alkohol, jadi sedikit tersadar, dan menyadari kesalahannya. Ia jadi kalut luar biasa.

Akhirnya dia malah mengambil keputusan gegabah. Ia ikut meloncat ke jurang.

Telur bebek dan telur puyuh kali ini bergeming. Mereka tak bisa bergerak. Mereka tak bisa berucap. Bahkan mereka hampir tak bisa bernafas.

Hingga akhirnya Polisi Telur Angsa yang mirip polisi India, karena selalu datang terlambat, tiba di lokasi kejadian. Ia mengintrogasi kedua saksi mata. Lalu ia mengecek bukti di CCTV. Murni kasus pembunuhan terhadap telur lehorn. Dan pelakunya telah mati bunuh diri sesaat kemudian.

Akhirnya Polisi Telur Angsa memutuskan semua kasus yang terjadi di Sektor Dapur Utama ditutup.

[Bersambung di sini]

Andalan

Life as eFisherian

Hal pertama yang membuat saya bersyukur memilih bergabung dengan eFishery adalah, sebagai Tim Product, saya (dan Tim Product) mendapatkan exposure yang besar terhadap strategi di level managemen. Setiap bulan kami menjadi peserta Monthly Meeting. Setiap kuartal dan akhir tahun, kami turut menyusun strategi bisnis ke depan. Saya yang awalnya sangat kurang pengetahuan tentang bisnis, terpapar begitu banyak metrics bisnis, strategi marketing, budgeting, dan lainnya. Yang membuat saya belajar dan akhirnya mulai paham.

Masuk ketika eFishery masih Seri A, membuat saya berkenalan dengan sosok-sosok inspiratif berjiwa sosial. Tujuan mereka di eFishery tulus ingin membantu petani. Saya pernah dengar, ada loh pegawai yang ketika visit ke petani dijatah uang makan 75 ribu sehari (kala itu), hanya dipakai 30 ribu (seharian). Katanya mending uangnya dipakai eFishery survive dan tumbuh, untuk membantu petani saja. Sampai saat ini orang-orang inspiratif ini masih ada di sini.

Hingga saat ini, berada di Seri C, datanglah orang-orang hebat alumni start up-start up yang sudah jadi unicorn. Saatnya memerah ilmu dari mereka. Skill leadership, managerial, frameworks, cara learning. Makin banyak sumber tempat kita bisa belajar.

Sampai detik ini, Top Level masih idealis dengan visinya membangun akuakultur Indonesia. Dengan protein ikan, kita ingin memberantas kelaparan di Indonesia. Mengapa ikan budidaya? Karena ikan budidaya yang paling sustainable. Paling minim limbah dan pencemaran dibanding budidaya protein hewani yang lainnya.

Banyak cerita inspiratif di balik idealisme yang dipertahankan sampai saat ini. Perjuangan di lima tahun awal tidaklah mudah. Banyak calon investor yang meminta Top Level untuk mengubah model bisnis perusahaan, supaya lebih cuan. Tapi karena jadi kapitalis terhadap petani, tidak terima kasih, kita tak sejalan.

Ada efek samping positif ketika kita bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang sosial. Di akhir hari, setelah seharian lelah bekerja over time. Yang kita dapat tidak hanya rasa lelah, dan sakau menunggu gajian. Rasa lelah itu justru teredam, berganti rasa syukur. Karena kita tahu, kerja keras / effort yang saya lakukan hari ini, adalah satu langkah yang menjadi progress dari roadmap membangun dunia perikanan di Indonesia, agar jadi lebih modern dan produktif.

Terakhir, Mas Gibran, CEO eFishery adalah sosok pendengar yang baik. Suara semua pegawai akan ia dengarkan, asalkan berisi dan objektif. Tak hanya suara pegawai, suara petani pun selalu didengarkan langsung. Dari eFishery berdiri di tahun 2013, seminggu sekali, Mas Gibran selalu rutin menelepon petani, untuk mendengarkan masalah yang dihadapi oleh user-nya secara langsung. Dan dia masih rutin visit juga, langsung bertemu petani, di kolam.

Inspiratif bukan? Masih banyak benefit sebagai seorang eFisherian. Mulai dari Full WFA, culture yang kolaboratif, klub-klub aktifitas dan hobi, jalan-jalan gratis berkedok visit, dan masih banyak lagi. So, tunggu apa lagi, ayo bergabung ke Life as eFisherian.

Berperahu ria di Waduk Karang Kates, Malang

<– bagian ini hanya boleh dibaca oleh efisherian, tidak boleh dibaca oleh non efisherian —>

Semua cerita di atas itu kata teman gua.

Kalo gua mah, gara-gara CEO-nya asik aja. Bisa main futsal bareng sama CEO. Bisa main PES bareng. Bisa main capsa bareng.

KPI annual gua:
1. Bisa ngolongin Gibran pas main futsal / bola.
2. Bisa tanding PES sama Gibran.
3. Bisa ngajak Gibran main capsa di ruangan Riau 11.
4. Bisa ngeroasting Gibran.

Andalan

Sakit

Photo by Jonathan Borba on Pexels.com

Saya sedang berada di area poliklinik rumah sakit. Ada puluhan manusia duduk berdiri di lorong panjang berwarna muram ini. Yang paling menarik perhatian saya ada di sudut kanan. Di sana ada dua orang remaja, yang menurut insting dokter saya, sepertinya mereka kembar, karena muka, rambut, dan bentuk tubuhnya berbeda. Iya berbeda, karena yang satu laki-laki yang satu perempuan. Yang satu mukanya didandani, yang satu tidak. Yang satu rambutnya pendek, yang satu panjang. Yang satu dadanya rata. Sementara yang pria dadanya besar, karena obesitas.

Ada dua lagi perbedaan mereka. Yang satu mata kanannya ditutup perban. Yang satu lagi matanya terbuka. Yang satu dari tadi dia menunduk saja, yang satu teriak-teriak seperti melihat setan, sampai dipegangi satpam.

Dari usaha saya menguping omongan sang ibu, yang doyan bercerita, anaknya yang laki-laki, tadi pagi bertanding sepak bola. Anaknya di-tackle lawan dari arah belakang. Sehingga mata kaki kanan anaknya bengkak, terpaksa ditutup perban. Sementara anak perempuannya, dari tadi pagi di lapangan sudah berteriak-berteriak seperti kesurupan. Ternyata yang terbuka mata batinnya.

Sementara di sebelah kiri, ada anak perempuan usia SMP duduk diam dengan mata berkaca-kaca. Mamanya terlihat marah, lalu menangis, lalu berganti marah lagi, lalu menangis lagi, berulang-ulang seperti Hulk yang bisa berubah-ubah. Saat marah, sang mama menggoyang-goyang tubuh anaknya yang pasrah tak berkutik. Saat menangis, sang mama menggoyang-goyang tisu di pelupuk mata. Sama tisu itu tak berkutik juga.

Astaghfirullahhaladziiiiiim!! Saya baru sadar, ternyata mereka sedang duduk antre di depan Poli Kandungan. Astagah! Jangan-jangan? Jangan-jangaaan??

Tak berapa lama, terbukti apa yang saya khawatirkan. Sang ayah keluar dari dalam poli kandungan, bersama selingkuhannya yang sedang hamil muda.

Sesaat kemudian, istri saya dipersilahkan masuk ke ruangan oleh suster. Saya membuntut di belakang. Pak dokter yang sedang duduk di mejanya, menyambut dengan senyum. Kemudian ia bertanya “Bagaimana kondisinya, apakah sudah ada perkembangan? Apakah sudah bisa bicara?”

Saya diam saja, membiarkan istri saya berusaha menjawab. Supaya dokter Akor Do. T.S., itu nama yang tertera di name tag-nya, bisa mendiagnosis dengan lebih akurat. Meskipun saya juga dokter, namun ini bukan spesialis saya.

“Pak, kok masih diam saja?” tanya dokter Akor Do. T.S., kali ini ke saya.

Kemudian istri saya menangis.

Dokter itu bertanya sekali lagi dengan nada sedikit tinggi, “Pak dokter? Bagaimana perkembangannya?”

Akhirnya saya terpaksa angkat bicara, “Sudah sembuh kok, Dokter. Minum obatnya rajin kok, Pak Dokter.

Kali ini, istri saya menangis kian terpuruk.

Akhirnya dokter itu memutuskan, “Ibu, sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya. Jika tidak ada perkebangan, maka terpaksa harus dirujuk ke rumah sakit khusus.” “Karena bapak belum bisa berkomunikasi. Dan ternyata masih berhalusinasi menjadi seorang dokter, maka terpaksa saya rujuk ke Rumah Sakit Jiwa.” Pungkas dokter yang bernama lengkap dr.Akor Descendants of The Sun ini.

Happy Ramadhan

Salah satu hal yang paling khas di bulan puasa adalah bukber alias buka bersama. Dulu, saat kuliah, ada anggapan, semakin banyak buka bersama, rasanya semakin keren dan exist. Tapi sekarang berbeda.

Bukber sekarang, terasa seperti sebuah beban atau tanggung jawab buat saya. Bukber di luar bersama keluarga, ya lantaran mesti paling tidak sekali dua kali, mengajak keluarga buka di luar. Juga bukber karena menemani istri buka bersama dengan rekan juga mantan rekan sejawatnya. Di lokasi bukber ngobrol sih. Tapi job desc utama kami menjaga para bocil yang berkeliaran ke sana ke mari, sembari berjuang menyuapi suap demi suap.

Tapi ada satu bukber yang berbeda. Buka bersama kawan-kawan Tembakvl. Bukber yang sangat menyenangkan. Saya bisa fokus menikmati makanan yang enak di Suck My Duck. Tiap kunyahan dihayati karena rasa umami daging bebek meleleh di lidah.

Saya juga bisa fokus ngobrol dengan frekuensi yang sama. Bisa mengenang cerita perjalanan pendakian, yang justru makin emergency, makin berkesan dan seru untuk diceritakan kembali, meski sudah berulang-ulang. Yang akhirnya, membuat saya kembali teringat, ternyata bukber bisa semenyenangkan ini ya.

Empat tahun sudah, saya tidak lebaran di rumah kelahiran. Dua tahun pertama, lantaran taat aturan PSBB, tidak mudik pada saat pandemi. Waktu itu rasanya iri sekaligus benci, melihat orang yang nekat mudik, bisa kumpul bersama keluarga di malam takbiran. Tahun ketiga dan keempat saya tidak mudik, karena istri tugas di dunia kesehatan, yang mana harus stand by, tidak ada libur.

Tahun kemarin masih mending, lah, masih bisa mudik di H+4 lebaran. Lumayan, masih kerasa sisa-sisa momen lebarannya. Masih bertemu dengan sedikit saudara, yang belum kembali ke perantauan.

Akhirnya setelah empat tahun, di Ramadhan kali ini, Insyaa Allah kami sekeluarga akan mudik dan bisa belebaran bersama keluarga besar. Penantian dan kerinduan yang panjang. Kesedihan yang berulang, setiap usai sholat ied, hanya bisa bermaafan dengan keluarga, terutama orang tua, cuma lewat video call. Lebaran besok, Insyaa Allah, tidak lagi. Badan berhadap badan. Mata bertatap mata. Tangan bersentuh tangan.

Lebaran di Indonesia memang sespesial itu. Sehingga orang-orang rela berbondong-bondong, berdesak-desakan, bermacet-macetan demi bisa pulang ke kampung halaman. Berjumpa keluarga besar. Demi melaksanakan tradisi yang sakral.

Tahun ini adalah Ramadhan yang bahagia. Selamat Idul Fitri untuk kawan-kawan semua. Mohon maaf lahir dan batin.

Sudah Tradisi

Di eFishery, ada sebuah trandisi yang sudah turun-temurun ke beberapa generasi. People comes and goes, but the tradition continues. Tradisi itu adalah Challenge menulis x hari berturut. Saya menaruh respect kepada para pemrakarsanya dulu, yang telah mewariskan legacy ini.

Pada periode pertama Challenge Menulis, tantangan ini berlangsung selama 31 hari non-stop, wedan. Periode kedua, 15 hari berturut. Di sinilah saya mulai join tradisi ini. Periode ketiga 10 hari. Periode keempat 11 hari. Dan, pada periode kelima ini, kembali challenge #10harimenulis .

Pada periode kelima ini, jumlah peserta mendaftar jadi yang paling banyak, ada 41 orang. Semoga tradisi ini akan berlanjut ke periode enam, lalu ketujuh, delapan, sembilan, dan seterusnya. Tentunya dengan jumlah peserta yang semakin banyak tiap tahunnya.

Selain itu, pada periode kali ini, segmen yang menjadi peserta semakin beragam. Jika sebelumnya, peserta hanya berasal dari pegawai internal eFishery, kali ini ada ex-eFisherian yang turut menulis juga. Halaman tulisan dan kolom komentar pun menjadi tempat bernostalgia dengan para alumni ini. Demikian juga, tim lapangan yang pada periode sebelumnya jarang ikut, kali ini menyertakan beberapa perwakilannya urun merangkai karya tulisnya.

Pak CEO juga ikut nulis, loh. Dan, tulisan dia yang mendapatkan apresiasi tepuk tangan paling banyak di medium. Jaringannya paling luas, sih, wk. Tapi memang tulisan-tulisannya bagus sih, bebobot. Saya sendiri sangat mengapresiasi, seorang CEO meluangkan waktu menulis hingga 3000-an kata, padahal batas minimalnya hanya 300 kata. Sungguh effort yang mahal, sehingga patut diapresiasi.


Bagi saya sendiri, tak ada ambisi tertentu seperti challenge di tahun-tahun sebelumnya. Dulu, ada ambisi saya harus bisa membuat tulisan plot twist, yang berhasil menjebak pembaca. Atau membuat tulisan populer, yang mendapatkan banyak likes dan comments.

Hanya saja, tahun ini kerjaan lebih hectic. Saya harus mencuri-curi waktu untuk bisa menulis, mengedit, lalu mengupload. Alhasil, kualitas tulisan-tulisan saya tidak semembanggakan periode sebelumnya.

Tapi yang penting, 10 hari beres 10 tulisan. Sehingga saya terbebas dari denda. Soalnya ada denda sesuai dengan jumlah hari alpa men-submit tulisan.

Sampai jumpa di challenge menulis tahun depan. Masih maupun sudah tidak ada di sini. Menulis dan membaca tulisan kawan-kawan, menjadi momen yang menyenangkan di Bulan Ramadhan.

Photo by Monstera Production on Pexels.com

Mari Bli Touring di Bali

Baca, sambil dingerin ini biar makin rindu…

Hi, Bali!

Saya belum kenal sama sekali dengan Mas Nindra. Belum pernah ketemu. Belum pernah ngobrol langsung. Belum pernah telponan. Belum pernah WA-an. Saya cuma tahu role Mas Nindra apa, wkwk. BTW, saya sudah coba ngeslack Mas Nindra, tapi belum direspon. Sayangnya saya tidak punya nomor WA-nya, jadi ga bisa langsung nelpon juga.

Tapi yang jelas, saya musuhan dengan Mas Nindra. Soalnya Mas Nindra itu Livepudlian. Sementara saya Mancunian. Sampe mati kita akan bermusuhan di sini. Gimana, Mas, rasanya dibobol Antony pake kaki kanan, pake gaya muter-muter?

BTW, saya iri sama Mas Nindra. Soalnya tiap hari, dia touringan motor di Pulau Bali. Pernah sekali, saya touringan motor di Pulau Dewata. Selama empat hari, dengan rute Sanur-Ubud-Kintamani-Tembuku-Amlapura-Besakih-Semarapura-Sukawati-dan berakhir di Kuta. Perjalanan itu menjadi salah satu touring terepic, paling berkesan, yang pernah saya lalui dalam hidup. Apalagi saat melewati jalan mulus berliku, tak terlalu lebar, yang diapit sawah menghijau di kanan kiri jalur, di daerah Ubud.

Paling syahdu, puncak dari perjalanan, saat melintasi Jalan Batur Tengah. Jalan raya mulus, sepi, meliuk-liuk, di tengah hutan yang berada di ketinggiannya. Hawa dingin menembus jaket, menyerap ke lengan, menjamah tulang. Sementara di sebelah kiri, pemandangan Danau Batur memanjakan mata, belum mau pamit. Sungguh definisi healing yang sangat menetralkan mood buat saya. Bali memang aura spiritualnya kuat sekali. Zen!

Saya touring di Bali sekali saja, rasanya sangat berkesan dan happy bingit. Apalagi Mas Nindra, yang tiap hari bisa touring Denpasar-Gianyar, berjarak 60-70 kilo. Ya, soalnya Mas Nindra jadi FBDO di daerah Gianyar. Sementara tinggalnya di Denpasar. (Asumsiku demikian). Wkwkw. Semangath, Mas! Luar biasa perjuangannya.

BTW, Mas Nindra tu udah bapak-bapak beranak ya? Soalnya koleksi dad jokes nya banyak banget. Chuaaks!

Dari cara Bli Nindra menulis, terlihat salah satu karakternya. He is a risk taker. He is Radjena. Saya jump to conclusion sih menyatakan ini. Tapi paling tidak, itu yang terbersit di kepala, habis membaca tulisannya hari ke hari.

Senang mengenal Mas Nindra dari tulisannya. Semoga ada kesempatan untuk kita bertemu langsung di Bali. Apalagi kalau dibiayai pake budget visit, wkwkw. Nanti kita touring lintas Bali bareng ya, Bli.

Tempat Kembali

Teras rumah adalah salah satu tempat paling penting dalam hidupku. Tempat dimana suasana hati bisa diimpaskan. Tempat dimana senyuman terkembang.

Pulang kerja, lembur sampai malam, usai seharian stress planning. Biasanya aku akan mampir dulu ke Kamikamu, take away Cranberry Magic (yang healing effectnya proven). Saat tiba dirumah, jika sudah kelewat malam, anak-anak sudah tidur, aku tak akan langsung masuk ke dalam rumah. Aku akan duduk dulu di kursi putih, di teras rumah. Sebuah kursi yang sengaja dipilih dengan selektif saat beli di Informa. Sebuah kursi yang ketika diduduki, menempel pas di punggung dan pantatku. Sebuah kursi yang sangat nyaman, memberikan efek rileks. Ketika dikombinasikan dengan cranberry magic, luntur semua kelelahan di badan, juga kepusingan di kepala.

Aku bisa betah duduk di situ, di teras rumah, selama setengah jam atau lebih. Ga ngapa-ngapain, cukup merenungi hari. Saking nyamannya, aku ikhlaskan darah di kakiku diseruput nyamuk. Gatalnya gigitan nyamuk, masih kalah dari rileksnya kursi penyerap energi negatif dan Cranberry Magic.

Teras rumah masa kecilku di Boyolali, memiliki makna yang jauh lebih besar lagi. Pernah di masa-masa pandemi, dimana berbulan-bulan aku tak bisa kemana-mana. Sembilan bulan alias 3 kuartal, aku tak bisa naik gunung. Yang mana naik gunung adalah kebutuhanku sekuartal sekali, untuk menghilangkan burn out.

Akhirnya setelah sembilan bulan, aku berkesempatan naik Gunung Slamet di Purbalingga. Tapi anehnya, saat sudah berada di hutan liar nan lebat di kaki gunung, energi negatif dalam tubuhku tidak terkuras habis. Berkurang sih. Tapi biasanya tu bisa lansung terkuras habis, bahkan sejak pertama kali melewati pintu rimba. Cuma kali ini enggak. Bahkan setelah sampai puncak sekalipun, melihat lautan awan berarak. Energi negatif dalam tubuhku tidak terkuras habis. Masih ada yang bersisa, sekitar seperempatnya. Masih ada kusut pikiran di kepala. Masih ada beban tertambat di pundak. Mungkin karena saking lamanya tak dikuras, terlanjur berkerak.

Akhirnya, aku nekat lanjut pulang ke Boyolali, sendirian. Berbeda dari teman perjalananku lainnya, yang balik arah ke Bandung. Aku naik bus malam-malam, sampai Kartosuro pagi. Lanjut oper bus ke Boyolali. Sampai rumah jam setengah tujuh pagi.

Eh, baru sampai halaman. Baru naik ke teras. Mak nyesssss, lenyap sudah semua energi negatifku. Luruh semua ke-toxic-an di dalam hati. Padahal, belum duduk, belum masuk ke dalam rumah, belum mencicip makanan signature-nya, belum minum air segarnya. Semagis itu rumah masa kecilku.

WFH dari Boyolali, menurunkan produktifitasku. Waktu di Boyolali terasa berjalan lebih lambat. Tak seperti pace di Bandung. Sore hari, orang-orang sudah selesai kerja. Mereka tinggal menikmati hari, menunggu malam tiba. Ada yang jalan-jalan sore. Ada yang menyiram tanaman. Ada yang menyuapi anaknya. Keponakan-keponakanku bermain-main di halaman. Jika aku masih meeting, rasanya sayang sekali. Momen sesyahdu ini, kulewatkan begitu saja. Sebagaimana kalau aku sedang WFH di Bandung, jarang sekali aku mendapatkan momen senja dari halaman rumah. Yaudah, mari tutup laptop.

Teras adalah sumber senyuman. Ketika aku pulang dari kantor tak terlalu malam. Ketika mobil terparkir, anak gadisku segera berlari ke teras. Menyambutku dengan suka ria. Berlompatan, memanggil-manggil. Menari-nari, menarik-narik. Tak ada lelah, yang tak akan lenyap, demi disambut oleh senyuman tulus nan riang seperti itu.

Sebagaimana saat kecil dulu, aku selalu menunggu kepulangan bapak dan ibuku di teras rumah Boyolali. Pulang dari sekolan tempat mereka mengajar, membawa kotak snack, yang sengaja tak mereka makan, untuk dibagikan buat kami anak-anaknya. Atau pulang dari pasar, membawa belanjaan, yang biasanya disertai panganan murah ala kadarnya, yang penting bawa oleh-oleh.

Teras rumahku adalah tempat beristirahat. Teras rumahku adalah tempat senyum terkembang. Teras rumahku adalah tempat bertumbuhnya ikatan orang tua dan anak.

Air nan Harum

Kami tiba di suatu tempat yang teramat asing. Untuk tiba di sini, kami harus melewati hamparan kabut yang tebal. Dengan jarak pandang yang sangat terbatas, kami berusaha mengikuti jalan setapak. Namun ada yang aneh, kabut itu berbau harum.

Sesaat kemudian, kabut itu mengihilang dalam sekejap. Pemandangan terbuka, dan kami berdiri di sebuah tanah lapang. Seperti ada lapisan yang melingkupi tempat ini, membuatnya terasa magis.

Seseorang yang berbadan gagah, mendatangi kami. Ia mengenakan pakaian adat yang rapi dan sopan. Ternyata ia datang menjemput kami. Kami kemudian diperlakukan dengan sangat baik. Dimuliakan bak tamu kerajaan.

Sang pengawal mengantarkan kami ke sebuah penginapan kuno di pusat kerajaan. Dua gadis nan cantik menyambut kami laiknya resepsionis hotel. Paras kedua gadis ini menggambarkan keayuan lokal. Yang satu berparas polos dan santun. Sementara gadis satunya, berparas nakal namun berperilaku sangat sopan juga. Sungguh paras cantik dan perlakuan santun dari keduanya, terngiang-ngiang hingga terbawa ke alam mimpi.

Esok harisnya, Sang kawan pengembara sampai berkata, “Andaikan dari dulu kita ke sini, ketika masih bujang.”

Selain kesantunan dan kecantikan penduduknya, kami juga disuguhi dengan keragaman kuliner lokalnya. Berbagai makanan campuran, fusion dari 2 jenis penganan, yang gabungannya tak pernah terbayangkan untuk dilakukan di dunia luar sana. Tapi entah bagaimana ceritanya, rasanya bisa sangat nikmat. Bak sedang terkenal pelet, yang bisa membuat kami betah berada di sini, cocok dengan makanannya. Tidak ingin pergi dari sini, tidak mau pulang.

Hmm, jika benar kami terpelet, bisa jadi makanan ini jika di bawa keluar, rasanya akan amburadul.

Astagah, minuman khasnya pun beraneka ragam. Dengan rasa yang memberikan level experience baru di dunia grastronomi. Ada juga yang sangat menyegarkan dahaga.

Selanjutnya, kami diajak Sang Pengawal mengelilingi wilayah kerajaan. Pesisir laut yang kaya akan ikan dan udang. Hutan bakaunya pun sangat terawat. Lalu kami dibawa ke kaki gunungnya. Disuguhi buah-buahan lokal, serupa manggis, buah naga, dan durian.

Menurut penduduk, buah-buah yang disajikan pada kami ini berkualitas biasa. Bukan kualitas premium, yang dikirimkan ke istana. Tapi sumpah, yang biasanya saja, bagi kami rasanya sudah memabukkan dan membuat candu. Seolah tiada bosan ingin terus memakan, hingga tiada terasa perut sudah tak muat.

Selanjutnya, kami diajak mendaki ke atas gunung. Sepi, dingin, namun pemandangannya sungguh teramat indah. Tapi tujuan kami bukan disitu. Kami dibawa turun ke tengah kaldera yang sangat besar. Di tengahnya adalah perbatasan wilayah kerajaan.

Sang Pengawal sempat mengajak kami berhenti di sebuah sungai, di tepi jalan. Terlihat air terjun tak begitu jauh ke arah celah tebing batu. Aku terpesona dengan keindahannya. Aku tergoda oleh kesegaran airnya. Rasanya ingin langsung meminum airnya.

Namun tiba-tiba Sang Pengawal melarang. Airnya pahit katanya.

Tapi aku mengabaikan. Aku harus merasakan segarnya air di tempat yang serasa surga ini. Teringat pesan pengawal, aku mencicipi airnya dengan ujung jari terlebih dahulu.

Sontoloyo!

Tiba-tiba lidahku tercekat. Rasa pahit, yang teramat sangat, seperti mencekik leherku. Rasanya bak mencicip air yang sangat basa, ber-pH 1.

Jangan-jangan dugaan kami selama ini tepat. Kami telah terkena pelet. Kemungkinan pada saat menembus kabut tempo hari. Di mana, saat ini kami sedang berada di batas wilayah kerajaan. Sehingga efek pelet itu melemah. Alhasil, air yang terlihat sangat segar itu, saat dicicipi ternyata rasanya pahit bukan main.

Lalu, Sang Pengawal membawa kami ke pusat lembah kaldera. Rangkaian perbukitan, yang diselimuti rumput hijau. Bahkan lebih mirip menggambarkan bukit teletubies, dibandingkan Lembah Bromo. Sayangnya langit sedang mendung, selalu mendung malah, dari hari pertama kami tiba di wilayah kerajaan ini.

Tepat di pusatnya, di bekas kawah yang sudah mati, Ada lahan datar seluas empat sampai lima lapangan sepak bola. Dataran itu berkarpet rumput hijau segar merata sepanjang mata memandang. Di tengahnya, hanya ada satu pohon yang berdiri, dengan pokok membentuk huruf Y. Di sekitar pohon itu, puluhan sapi dilepasliarkan, merumput hingga gemuk.

Perjalanan berakhir, setelah kami bertapa di puncak salah satu bukit, yang berada di tepi lapangan luas.

Pulang dari sana, waktu terasa berjalan begitu cepat. Kami kembali ke penginapan. Esok harinya, kami diantarkan pamit oleh kedua gadis, yang sampai saat ini, parasnya masih terkenang dalam ingatan.

Kabut tebal kembali mengantar, saat kami meninggalkan tempat magis itu. Hanya saja kali ini, kabutnya tidak berbau harum.

Aku dan kawan pengembara berikrar. Suatu saat, kita harus kembali ke tempat ini. Masih ada lelaku yang belum tuntas. Tepatnya di Pulau Merah, di pesisir wilayah kerajaan.

Dan kami akhirnya tahu. Ternyata tempat itu memang termahsyur akan dunia magisnya. Segala ilmu putih dan hitam banyak dipraktikkan di sana. Termasuk pelet pemikat, yang membuat kami betah berada di sana. Sebuah ilmu putih bernama Toya Arum.

The All Rounder

Ada orang yang bisa dengan mudah ditebak dia itu Sanguinis, atau Koleris, atau Melankolis, maupun Plegmatis. Tapi ada juga yang tidak mudah ditebak, meski setelah ngobrol panjang dengannya.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki 1 karakter utama. Terserah mau pakai framework yang mana. Sanguinis, Koleris, Melankolis, dan Plegmatis. Atau mau pakai framework DISC. Keduanya rada mirip-mirip, kok. Pembagian warna atas tiap karakternya pun sama.

Umumnya, manusia memiliki karakter kedua yang menonjol juga. Jika menilik ke diagram DISC maupun SKMP, biasanya karakter kedua ini letaknya di sebelah karakter utama. Pada case karakter pertama dan kedua, karakter utama jauh lebih menonjol dari karakter kedua. Tapi bisa juga hampir rata, meski pasti ada sedikit yang lebih dominan/menonjol.

Kemudian ada karakter ketiga. Di beberapa orang, karakter ketiga bisa tidak muncul. Namun, ada yang karakter ketiganya masih terasa. Nah, karakter ketiga ini, masih di sebelah karakter utama. Misal karakter utamanya Plegmatis, karakter kedua dan ketiganya antara Melankolis dan Kolesris. Sangat sulit atau bahkan mustahil Sanguinis.

Nah lalu ada karakter keempat. Ini lokasinya berseberangan dengan karakter utama. Karakter utama dan karakter ke empat ini wataknya bertolak belakang. Jadi agak mustahil atau sangat sulit, misal orang yang tipenya Steadiness, memunculkan ciri-ciri seorang Dominant.

Berdasarkan prinsip ini, dan setelah memahami ciri-ciri dan watak dari tiap-tiap karakter, kita bisa membaca seseorang itu cenderung ke karakter yang mana. Tapi pertanyaannya (seperti yang dibahas di paragraf pertama), kenapa kok ada orang yang ga bisa ditebak ya, dia karakter yang mana?

—–

Aku terlahir dengan karakter utama Steadiness atau Plegmatis. Kemudian karakter menonjol keduaku adalah Melankolis alias Conscientious. Yang mana artinya aku introvert. Pendiam. Susah bersosialisasi yang terlalu luas. Ga suka jadi pusat perhatian. Ngomong seperlunya. Kata-kata yang berbobot sekalipun, terkadang nyangkut di pangkal lidah, urung terucap.

Hingga akhirnya, setelah berkali-kali aku terkena masalah, atas kepasifanku. Apa yang kuinginkan selalu kupendam. Sehingga akhirnya tak pernah tercapai. Malah akhirnya yang “terpaksa” kupilih justru yang diinginkan orang lain. Bukan apa yang kumau sendiri. Naas banget nasibnya. Kebanyakan ngewujudin keingan orang. Keinginan kita sendiri, luput.

Akhinya aku tiba di suatu titik jenuh, aku benci dengan keintrovertanku. Aku benci dengan jiwa mengalahku. Aku pengen jadi lebih komunikatif. Aku ga ingin jadi “silent reader” di kelompokku lagi. Aku pengen berlatih jadi si pusat perhatian. Yang banyak ngomong. Banyak nyeletuk. Pengen menuruti keegoisan dan kemauanku. Pengen apa yang kumau lah yang terwujud.

Akhirnya, langkah pertama yang kuambil adalah belajar menjadi joker. Si lucu di dalam kelompok.

—–

Seseorang bisa tidak ketahuan karakternya condong kemana, jika ia telah menjadi All Rounder. Misal, karakter awalnya Dominant. Namun karena suatu kejadian, bersebab keegoisannya, ia pernah kehilangan seseorang. Membuatnya teramat sangat menyesal. Dari sana, ia berikrar, untuk tak mau jadi seseorang yang egois lagi. Ia ingin jadi seseorang yang lebih memperhatikan orang lain.

Tentu tidak mudah. Egoisnya itu bawaan lahir loh. Sering kali bahkan ia tak sadar bahwa apa yang ia lakukan itu salah. Tapi dengan usaha berulang ratusan kali, istiqomah, akhirnya karakter Steadiness-nya mulai tumbuh.

Pada kasus ini, karakter nature alias bawaan lahir dia adalah Dominant dan Influencer. Namun, ia berhasil me-nurture karakter Steadiness-nya. Lalu jika ia berhasil me-nurture karakter Conscientious-nya, entah setelah terjadi pelajaran hidup apa. Jadilah ia memiliki keunggulan sifat dari keempat karakter dalam dirinya.

Inilah yang mengakibatkan, orang-orang jadi susah menerka. Sebenarnya karakter aslinya apa, sih. Kok di waktu tertentu, dia bisa decisive sekali layaknya seorang Dominant. Kadang menemukan sisi perhatiannya kepada orang lain, yang teramat sangat tulus, laiknya seorang Steadiness. Adakalanya, analisanya sangat tajam, sebagaimana seorang Conscientious. Sekali waktu, bisa menjadi MC yang sangat atraktif dan interaktif sepantasnya nature dari Influencer.

—–
Setelah perjuangan bertahun-tahun. Akhirnya aku mulai bisa jadi seorang penghibur di dalam kelompok. Ga malu-malu kucing lagi. Berani ngomong.

Gokilnya, saat mencoba test karakter lagi. Sanguinku yang saat itu paling menonjol. Mengalahkan dua karakter nature-ku.

Tapi tetep saja, yang namanya bawaan lahir, alias nature, ga akan pernah hilang. Setelah menjadi MC selama satu setengah jam, yang membuatku harus banyak ngomong dan melemparkan joke-joke penghibur, energiku drained. Selepas itu, aku menghilang, sembunyi di ruangan kecil. Tidur selama dua jam. Untuk sedikit menge-charge bateraiku biar bisa pulang ke rumah.

Dari hasil test itu, ternyata karakter Dominan alias Kolerisku masih meng-ndelesep. Meskipun aku sudah berlatih untuk egois. Tapi ternyata, (lantaran egois adalah karakter yang bertolak belakang dengan karakter utamaku, si Steadiness). Jadi di alam bawah sadar, keputusanku sering menolak aku untuk egois juga decisive.
—–

Namun ternyata, si karakter keempat, si paling bertolak belakang, bukannya sama sekali tak bisa dilatih dan ditumbuhkan. Bisa, tapi perjuangannya saja yang harus lebih strugling.

Coba lihat Gibran, seorang All Rounder. Susah ditebak dia aslinya apa. Bahkan dalam setiap presentasi strateginya saja, ia memasukkan komponen untuk menggerakan dan memotivasi keempat karakter. Bagaimana memotivasi timnya yang bertipe dominan? Ya, tinggal dikasih target saja. Gimana memotivasi timnya yang Influencer? Kasih cerita ucapan petani yang sangat berterima kasih karena telah terbantu oleh efishery, heroik. Untuk si C, harus ada narasi why-nya yang logis, ada benang merahnya. Untuk si S, untuk mewujudkan semua ini, eFishery butuh bantuanmu.

—-
Akhirnya, aku punya kesempatan untuk melatih Dominan-ku. Naik dari GPM menjadi HoP. Agar tanggung jawabku bisa naik kelas, maka timku juga harus naik level. Cara delegasinya pun berbeda. Lebih lempar-lempar. Kadang melemparkanya sembarangan dan ga jelas. Menyebalkan.

Ya, tahun 2024 ini, menjadi kesempatanku untuk bertumbuh lagi. Mengembangkan karakter paling anti tesis-ku, Sang Koleris.

Bedarah-darah, tentu. Memakan korban, sudah. Akan ada yang benci dan jadi punya musuh, tinggal tunggu waktu.

Tapi semua itu perlu untuk step up.

—–

Jadi, apakah kamu mau step up dan menjadi seorang All Rounder?

marco polo

Perjalanan hidup itu bagaikan main game Age of Empire. Terutama di bagian explorasi hal barunya. Kita memulai permainan dengan map yang gelap. Hanya yang ada di jarak pandang pemain yang terbuka dan terlihat. Sisanya hitam, gelap, penuh misteri. Bisa di sana ada tanaman buah liar yang bisa dimakan. Atau malah di sana ada serigala yang siap menyerang.

Kemudian kita mulai melakukan eksplorasi. Kita berjalan ke suatu arah, maka area itu akan terbuka. Kita jadi tahu di sana ada apa, dan bisa melakukan apa. Seperti explorasi kehidupan, merantau ke kota baru, mencoba pekerjaan baru, yang mana tentu mengandung pertaruhan. Bisa berhasil, bisa gagal. Seperti di dalam game AoE. Kadang kita menemukan tambang emas. Atau sialnya kita ketemu watch tower musuh, atau bahkan castil musuh, sehingga kita dipanahi lalu mati.

Ada cheat code yang sangat powerfull di game AoE. Cheat code ‘marco’, yang akan langsung membuat map terbuka. Seperti kita melihat google maps. Kita jadi tahu dimana danau, dimana forage bush, dimana laut, juga dimana titik-titik musuh berada. Meski kita tidak tahu apa yang sedang real terjadi di sana. Kemudian ada cheat code “polo”, yang akan membuat semua orang dan hewan terlihat keberadaan dan pergerakannya. Bukan hanya yang berada di jarak pandang.

Mundur ke abad 13, Marco Polo, seorang pengarang yang kemudian menjadi penjelajah samudra masa lampau. Bertaruh melakukan explorasi melintasi samudra dan benua, tanpa kepastian bisa kembali ke tanah kelahiran dalam keadaan hidup-hidup. Demi sebuah harapan, melihat dunia baru, melihat budaya baru, melihat sumber daya alam baru.

Berlayar ke timur, bertemu dengan kekaisaran yang termahsyur, Kubilai Khan. Saat kembali ke kota asalnya Venesia, ia menuliskan perjalanannya dalam “Petualangan-Petualangan Marco Polo”, yang membuat namanya terkenang hingga sekarang.

Maju ke abad 21, sekitar 12 tahun lalu, kawan-kawan kuliahku melakukan touring ke Curug Cikaso, lanjut ke Ujung Genteng. Mereka pulang membawa cerita keindahan Curuk Cikaso, yang sangat mempesona. Mereka berfoto bersama di depan guyuran 3 curug besar. Mereka juga bercerita tentang keeksotisan Pantai Ujung Genteng. Dimana penyu-penyu liar, setelah berkelana di samudra lepas selama 25 tahun, kembali mendarat di pantai tempat ia ditetaskan, untuk bertelur di tempat yang sama, meneruskan siklus kehidupan. Sejak saat itu, Ujung Genteng menjadi bucket list dalam hidupku. Tanah yang di janjikan. The Lost World, keindahan alam tersembunyi, yang harus disambangi barang sekali seumur hidup.

Motivasi dan harapan sebesar itu, ternyata tak cukup membuatku pergi ke sana. Sebagai seseorang yang kebanyakan mikir, terlalu banyak parameter yang dipertimbangkan. Pergi sama siapa lah. Masa sendiri? Duitnya gimana? Kalo nyasar gimana? Kan, the lost world. Akhirnya cita-cita itu hanya dipendam, disebabkan oleh analysis paralysis.

Hingga akhirnya, seorang ikhwan rekan kerja, menceritakan perjalanannya bersama keluarganya. Melintasi Naringgul, yang jalannya katanya sudah baik. Bahkan lebih indah dilalui siang hari, daripada malam hari, seperti saat kami touring ke Jayanti dulu.

Kemudian ikhwan itu menceritakan keseruannya touring ke Ujung Genteng. Jalannya berliku, melintasi hutan, tapi aspalnya mulus. Yang akhirnya membuatku berfikir: sepertinya bukan area yang segelap aku kira. Bukan map yang belum di-marco.

Hingga akhirnya, di libur long weekend menuju Ramadhan, ada opsi, yaudah leyeh-leyeh saja di rumah. Atau kalau mau cari aman, bisa touring ke Naringgul – Jayanti – Santolo, yang dulu sudah pernah marco polo. Atau nekat? Mengejar Naringgul – Karang Potong – Cikaso – Ujung Genteng – Geopark Ciletuh – Pelabuhan Ratu – Lampion Kaswari Sukabumi.

Dengan sedikit taburan kenekatan, kenapa ga sekalian aku contreng saja si bucket list? Akhirnya terjalani. Dan menjadi salah satu perjalanan paling berkesan dalam hidupku.

Lembah Naringgul yang mililiki jalur berliku, mulus, menanjak dan menurun curam. Kanan kirinya diapit sawah dan sungai. Di ujung kanan dan kiri lembah dibentengi tebing. Dengan puluhan, sumpah dua puluh lebih air terjun berjajar. Panjang pendek. Besar kecil. Epic banget.

Lanjut bermalam di Ocean View, Karang Potong, yang ternyata B aja. Bersambung di esok hari melintasi jalanan asyik buat turing di tengah perkebunan karet PTPN. Lalu naik kapal menuju Curug Cikaso, yang bagus sih, tapi ternyata tak semajestik seperti yang terimajinasi di kepala, dari ceritai kawan-kawan kuliah dulu.

Sore hari tiba di Ujung Genteng, yang ternyata tak seeksotis itu. Melintasi pematang sawah berlumpur, karena harus memutar lantara ada jembatan putus, demi melihat tukik dilepasliarkan. Bermalam di pantai sisi barat yang ombak dan anginnya lagi ga santai banget. Tapi, Pantai Tenda Birunya syahdu, sih. Tempat di ujung Hutan Lindung Ujung Genteng, yang terasa sangat privat. Pantai seindah itu serasa milik sendiri.

Di perjalanan pulang, mampir dulu diterpa angin kencang di tubir Geopark Ciletuh. Melihat air terjun Cimarinjung dari tengah sawah menguning. Nanjak ke Puncak Darma, sampe mobilnya ngos-ngosan hampir ga kuat. Ga ngotak sih itu tanjakannya.

Hingga akhirnya tiba di rumah di malam hari. Mengantarkan tidur bermimpi indah, atas perjalanan yang mengesankan. Yang dulu berasa agak mustahil untuk memaksakannya. Tapi ternyata tidak se-unreachable itu. Yang andaikan dulu pas kuliah, aku berani nekat jalan aja dulu. Bahkan dengan motoran sendiri. Pasti sampai, dan pasti tercheck list. Dan tidak menjadi harapan yang tergantung, bahkan terpendam dalam waktu yang selama ini.

Memang ternyata, yang dibutuh dalam hidup ini tu, kaya yang dibilang Nike: just do it! Ini nasehat untukku, dan kawan-kawan yang kebanyakan mikir juga pertimbangan.

Ingat: “If you never try, you’ll never know.”

Btw, jadi pengen main AoE lagi.

Meja si (Anti) Perfeksionis.

Photo by Julia M Cameron on Pexels.com

Mejaku berantakan.

Ada kabel monitor, charger laptop, charger HP yang saling menjerat satu sama lain. Ada holder HP yang tumbang. Ada tempat pensil, yang isinya pensil, pulpen, spidol, penghapus, lem, yang mana isinya pada berantakan, tidak lurus berdiri ke atas. Ada sabun muka, entah punya siapa. Ada botol parfum kosong. Monitor Asus VG27AQL1A. Ada terminal. Bahkan ada cairan infus, yang sudah lupa ceritanya bagaimana kok ia bisa berada di situ. Ada goody bag dari rumah sakit, yang isinya rangkaian bunga dari kertas. Ada topi. Ada jam tangan. Ada mouse wireless. Ada TWS. Ada gelas yang masih berisi penuh, lupa diminum saat sahur. Ada mainan Thomas, yang tiduran ke samping, mungkin semalam ia begadang sampai sahur. Ada raket nyamuk, yang sengaja ditaruh dekat area kerja, supaya kalau ada nyamuk sok-sokan mau PDKT, bisa langsung ditampar.

Ada ceritanya mengapa meja kerjaku sekarang tidak rapi.

Dulu, dari SD sampai jaman kuliah, meja kerja belajarku sangat rapi. Mungkin OCD malah. Semua-mua posisi benda di atas meja harus perfect. Bahkan posisi penghapus tidak boleh miring sederajat pun. Harus sejajar dengan sumbu x dan sumbu y.

Hingga saat pertama kali diterima kerja, hanya dengan diwawancara calon userku selama 15 menit. Ia langsung bisa menyimpulkan, bahwa aku orangnya perfectionist. Katanya dari fakta aku lulusnya lama, gara-gara ga progress-progress ngerjain Skripsi.

Dari situ aku jadi berkontemplasi. Apa benar aku ini over perfectionist. Sehingga malah contra productive?

Lalu userku itu menasihati. Kamu sekarang masuk ke dunia start up, perfectionist will be killing you. Lalu dijelaskan alasannya bla bla bla. Yang sebagian besar watu itu aku belum relate, karena belum pernah merasakannya sendiri, lantaran belum punya pengalaman di dunia kerja, selain saat magang.

Yang jelas, salah satu alasan utama yang ku ingat. Dunia start up itu kudu agile. Analyse, decide, validate, review, pivot, validate, dst. Kalo terlalu perfectionist, yang ada mainnya waterfall, wicis too costly.

Mulai saat itu, aku mengurangi keperfeksionisanku. Aku mulai menerapkan prinsip-prinsip agile dan lean di dunia kerja. Termasuk juga di kehidupan sehari-hari, ada yang kuubah. Semisal si meja kerja. Supaya aku lebih mudah beradaptasi dalam menanggalkan keperfeksionisanku.

Akhirnya, perlahan posisi penghapus di meja kerjaku, tidaklah lagi harus 0 derajat terhadap sumbu kartesian. Bolpoin tidak harus masuk ke dalam cup pencil, dengan posisi lurus menghadap ke bawah. Bolpoin boleh tergeletak begitu saja. Bahkan mulai ada benda-benda yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Dan somehow, lama-lama berhasil. Aku mulai menghapus karakter perfeksionisku. Terutama untuk hal-hal yang tidak seharusnya. Walau di beberapa hal, yang memang diperlukan, masih ada. Cuman ya kadang, masih over. Pun juga, sekali waktu, tanpa sadar si karakter bawaan lahir ini reunian. Misal tiba-tiba aku memantaskan posisi HP supaya sebanjar dengan sumbu diagram kartesius.

Akhirnya skill anti perfeksionis, take decision lebih cepat, dan take the risk membantuku untuk mengembangkan karir. Menjadi manager. Menjadi leader yang bisa mengambil keputusan dengan lebih sat set dan bertanggung jawab atas keputusannya.

– – –

“UNLEARN! Karena apa yang membuatmu strong di fase sebelumnya. Bisa jadi yang akan membunuhmu di tahap selanjutnya.”

Ki Aldith Notokusumo

Tapi sumpah, unlearn itu susah banget, Bagindaku!

Bagaimana Cara Menikmati Kecewa

Photo by Pixabay on Pexels.com

Namanya hidup.

Kadang kita mengalami momen-momen membahagiakan. Kadang kita menghadapi momen-momen menyedihkan. Sesekali kita dipuji. Sesekali kita dihina. Adakalanya kita merasa puas. Adakalanya kita merasa kecewa. Sekali waktu kita jatuh cinta. Sekali waktu kita patah hati.

Itulah hidup.

Hari ini aku sedang merasa kecewa.

Ketika kita sedang merasakan salah satu emosi yang sangat besar, akhirnya berujung pada mood kita. Bahagia, dipuji, puas, jatuh cinta akan memberikan mood yang positif. Membuat kita semangat beraktifitas. Dan tiba-tiba bersemangat mengumbar janji.

Ketika kita sedang sedih, terhina, kecewa, atau patah hati, akan berujung menjadi mood yang negatif. Seharian murung. Tidak semangat beraktifitas. Bawaannya emosian, dikit-dikit marah. Yang akan berkibat buruk pada keputusan yang kita ambil.

Lalu sebaiknya disalurkan kemana emosi yang sedang tidak setabil ini?

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menulis.

Ketika kita menulis, terutama fiski atau narasi, tentunya akan melibatkan emosi di dalamnya. Jikalau emosi dalam ceritanya netral, maka aman jika ditulis dalam kondisi mood kita yang sedang normal.

Cuman, kalau kita sedang menuliskan cerita sedih, atau patah hati, tapi mood kita saat menulis lagi hepi, emosi tulisannya tidak akan sampai ke pembaca. Begitu juga sebaliknya, ketika kita ingin menuliskan momen dengan suasana yang bahagia, sementara kitanya sendiri sedang bersedih, pasti tulisannya ga akan memberikan rasa yang sesuai. Atau bahkan sama sekali tak bisa menulis kitanya saat bad mood.

Maka ketika sedih, tulis cerita sedih. Ketika marah, tulis cerita marah. Ketika jatuh cinta, tulis cerita jatuh cinta. Ketika patah hati, tulis cerita patah hati. Termasuk ketika kecewa, lebih baik tulis cerita tentang kekecewaan.

Tips lebih jauhnya, ketika mood sedang netral, tulis draft alurnya dulu. Dump dulu. Nanti ketika kita disambangi suatu kejadian, yang membuat kita merasakan emosi yang teramat sangat. Jangan disalurkan sembarangan. Meskipun emosi yang negatif, tetap saja itu sebuah energi. Yang sayang, bahkan berbahaya kalau kita salah menyalurkan. Makanya, mending kita salurkan untuk mengedit draft tulisan, yang membutuhkan penguatan emosi yang sesuai mood. Pasti hasil tulisannya akan sangat tajam menggambarkan emosi seperti yang sedang kita rasakan.

Yang jelas hari ini aku sedang kecewa.

Nasihat Pak Ustad

Ada sebuah nasihat yang sering diberikan seorang ayah kepada anaknya. Nasihat tentang value diri serta pentingnya memilih teman dan lingkungan bergaul. Mari kita simak.

“Nak, di garasi itu teronggok mobil tua ayah. Menurutmu kalau dijual laku berapa ya?”

“Hah, nggak tau, Yah. Aku kan ga ngerti mobil.”

“Yaudah, Nak. Besok, kalo ada tukang loak lewat, coba tawarin! Tanyain dia mau nawar berapa. Habis itu kasih tahu ayah.”

Esok harinya.

“Ayah, tadi aku udah nanya ke kang rongsok yang biasanya. Katanya, sih, dihargai kaya besi rongsok biasa. Sekilo lima rebu. Kalo mau diborong gopek.”

“Hmm, oke, Nak. Gopek, ya.”

“Sekarang coba kamu lap-lapin mobilnya! Terus kamu pompa. Terus kamu foto. Terus kamu upload di WA, Facebook, atau IG-mu situ. Bilang dijual. Terus cek penawaran tertingginya berapa.”

“Hhfff.” Si anak menghela nafas panjang. Tapi menuruti saja perintah ayahnya.

Dua hari kemudian.

“Gimana, Nak? Udah ditawar berapa mobilnya?”

“Wah ada beberapa yang udah nawar nih, Yah.” Si anak terlihat bersemangat menjawab. “Yang pertama nawar di tujuh juta, Yah. Terus abis itu kebanyakan pada nawar di belasan, sekitar empat belas lah.”

Ayah mengangguk-angguk sambil memainkan jenggotnya.

“Tapi ada satu loh, Yah, yang berani nawar 27 juta,’’ kata si anak dengan mata yang berbinar. ’’Hahaha, tinggi juga, ya, harga mobil jadul Ayah.”

Sang Ayah tersenyum simpul.

“Nak, sekarang coba kamu hapus dulu postinganmu itu!”

“Hah!?” Si anak menampakkan raut bingung dan menentang.

“Sabtu besok, kalo ngga salah ada event mobil kuno di IKEA. Ada Om Fitra Eri sama Om Mobi ngewawancara Rifat Sungkar sama Om Jos Dharmawan.”

“Nah, coba mobil itu kamu isi bensin. Harusnya masih bisa nyala, selama ini ayah rawat soalnya. Terus besok hari sabtu, kamu bawa ke IKEA. Parkir deket panggung. Pas sesi wawancara nanti, kamu geber-geber dikit lah itu SL300 Gullwing ayah. Habis itu diem aja di mobil, ga usah tawar-tawarin ke orang!”

Si anak makin bingung. Tapi tidak membantah. Juga tidak bertanya lagi.

Sabtu sore kemudian.

Suara mobil Gullwing terdengar masuk dengan tergesa ke halaman rumah. Kemudian si anak berlari ke dalam rumah. Mukanya tampak panik.

“Ayah, Ayah! Gilak, masak habis aku geber-geber, ga lama wawancaranya ditutup. Terus pada ngerubungin mobil Ayah. Aku panik, Ayah.”

“Trus abis itu pada nawar. Malah ada yang maksa beli. Ada yang nawar 5 miliar. Om Rifat berani nawar sembilan M, Ayah. Malah Om Jos nawar 15 M, Ayah. GILAK! LIMA BELAS M.”

“Aku ampe panik, Ayah. Ga bisa ngomong. Trus akhirnya aku bilang aku mau bilang ke ayah dulu, soalnya ini mobil ayahku.”

Sang Ayah tersenyum bangga. Kemudian ia merangkul pundak anaknya.

“Oke, Nak.” Sang Ayah memberi jeda, membiarkan anaknya mengatur nafas.

“Dari awal ayah tak berminat menjual mobil itu.”

Si anak melongo sambil mengerutkan jidat, kebingungan.

“Ayah hanya ingin mengajarkanmu sesuatu. Bahwa, dalam hidup kadang kita merasa bahwa diri kita ini tak berguna. Tapi bisa jadi, Nak. Sebenarnya kita hanya berada di tempat yang salah. Saat ini, kita berada di lingkungan yang tidak menghargai value kita, sehingga dianggap tak berguna. Coba improve value dalam hidupmu. Seperti saat kamu mengisi angin, melap mobil, dan mengisi bensin kemarin. Lalu masuk lah ke lingkungan yang tepat. Di sana, kamu akan merasa berguna, merasa ada, menjadi manusia, termanusiakan. Karena lebih dihargai. Karena, sepenting itu loh, kita harus memilih lingkungan bersosialisasi. Juga kawan untuk bergaul.”

– – –

Tapi, kali ini bukan hanya tentang value dan lingkungan, Kawan.

Ini tentang kehadiran Bulan Suci Ramadhan, kesempatan langka yang belum tentu kita jumpa lagi tahun depan. Kesempatan mahal, semewah Mercedes-Benz SL 300 Gullwing.

Apakah kita akan memperlakukannya seperti pemulung. Menganggapnya besi rongsok murah biasa. Tiada puasa, tetap makan, minum, dan merokok seperti hari biasa.

Apakah…, kita akan menyikapinya seperti orang biasa. Tetap puasa. Tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaganya saja.

Ataukah…, kita menyambutnya bagai para pakar dan collector mobil tadi?

Photo by Alex Tinca on Pexels.com